BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dakwah
adalah pekerjaan atau mempengaruhi manusia mengikuti Islam. Merupakan kegiatan
yang tertua sekaligus menjadi sebab (instrumental) terbentuknya komunitas dan
masyarakat serta peradaban manusia yang dapat menghantarkan kepada cita-cita
ideal dakwah yaitu terwujudnya Khoirul Ummah. Tanpa adanya dakwah maka
masyarakat yang berdimensi “Khourul Ummah” yang terdapat dalam surah Ali Imran
ayat 110 adalah adanya mekanisme kelembagaan maupun non-kelembagaan untuk Amar
Ma’ruf dan Nahi Munkar serta penduduknya beriman.
Usaha
mewujudkan komunitas masyarakat yang merealisasikan ajaran Islam, sudah barang
tentu sebuah pekerjaan yang menuntut adanya pemahaman keilmuan yang mendalam
baik secara teoritis maupun terapan. Hal ini merupakan keharusan yang tidak
bisa terpisah bagi komunitas da’i (Agent of Change) dan melekat sebagai
kepribadian yang syamil dalam menggerakkan keutamaan dengan menegakkan yang
baik dan mencegah yang mungkar. Alasan yang cukup representatif untuk da’i
sebagai bagian dari masyarakat yang mengemban fungsi yang mulia. Sebagaimana
tertera dalam firman Allah QS ali Imran 3-104.
Mengubah
tingkah laku manusia dengan dakwah berarti aktivitas dakwah diharapkan mampu
memahami motivasi-motivasi atau dengan dorongan-dorongan fisiologis, psikis,
dan dorongan-dorongan tidak sadar sebagai penggerak tingkah laku manusia yang
sangat beragam.
Lebih
tepatnya manusia, baik secara individual maupun secara sosial yang menjadi
komplek dan mempunyai berbagai ragam problematika dengan dimensi persoalan yang
tidak sedikit, perangkat kebijakan yang bernuansa pada hikmah adalah sesuatu
yang harus dimunculkan dalam melihat mad’u yang sangat beragam, sehingga
komunitas da’i sebagai Agent of Change mampu membedah suasana batin
masyarakat mad’u, menelusuri masalah psikologis yang dihadapi oleh mad’u,
dan sebagainya.
B.
Rumusan Masalah
Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam penyusunan
makalah ini, maka kami merumuskan
masalah sebagai berikut:
1.
Hikmah dalam konteks memilih kata yang tepat
2.
Memilih kata yang tepat dalam A-qur’an
3.
Da’i terhadap mad’u
4.
Memilih kata yang tepat dalam perspektif al-sunnah
5.
Figur da’i dalam memilih kata yang tepat
C.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan dalam membahas masalah ini
adalah untuk mengetahui bagaimana :
1.
Hikmah dalam konteks memilih kata yang tepat
2.
Memilih kata yang tepat dalam A-qur’an
3.
Da’i terhadap mad’u
4.
Memilih kata yang tepat dalam perspektif al-sunnah
5.
Figur da’i dalam memilih kata yang tepat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HIKMAH DALAM
KONTEKS MEMILIH KATA YANG TEPAT
Diriwayatkan
dari Ubay bin Ka’ab bahwa Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya diantara syair
terdapat hikmah”. Maksud dari syair tersebut adalah perkataan yang benar dan
sesuai dengan kebenaran. Ada pula yang berpendapat bahwa dasar hikmah tersebut
adalah pencegahan. Maknanya diantara syair ada perkataan yang bermanfaat dan
mencegah kebodohan. Pada umumnya sebuah syair mempunyai bentuk kata-kata yang
singkat, padat, namun dapat menggambarkan suasana kejiwaan si penyair secara
utuh dan tepat baik perasaannya dan pikirannya terhadap objek tertentu.
Kata-kata dalam setiap bait menyentuh menghujam jauh pada relung sanubari yang
paling dalam hingga menggugah perasaan menghantarkan pada setiap renungan,
untuk lebih jelas mengenai hal demikian pemakalah menukil beberapa syair.
Dalam
bermunajat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib membaca syair yang tergubah dalam
Bahar Wafir.
Dari sini
terlihat hubungan yang erat antara hikmah dengan memilih kata yang tepat. Salah
satu sifat orang yang bijaksana (orang yang memiliki hikmah) adalah berpikir
dahulu sebelum berkata. Kata-kata yang keluar dari seorang hakim adalah
dipertimbangkan dahulu, sehingga benar dan sesuai dengan keadaan buman
oriented.
B.
MEMILIH KATA
YANG TEPAT DALAM AL-QUR’AN
Menurut
Larry A. Samover “We Canot Not Communicate” oleh karena itu manusia
tidak dapat menghindari dari komunikasi dalam interaksi sesamanya. Pada
hakikatnya ketika manusia berkomunikasi pada dasarnya memindahkan atau menyalin
pikirannya dalam bentuk lambang. Agar lambang itu bermakna maka perlu disampaikan
secara tepat. Karena tujuan dasar komunikasi tersebut antara lain mencetak
kesan orang lain dan memberikan kontribusi realitas (Impression Management
and Reality Contributive).
Memilih
kata yang tepat menurut perspektif al-Qur’an adalah term Qaulan Sadida disebutkan
sebanyak 2 kali yaitu pada ayat 9 surat an-Nisa dimana stressing pembicaraan
mengenai hukum waris pada surat al-Ahzab ayat 70-71.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu
kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”.
يُصْلِحْ لَكُمْ
أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Artinya : “Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”.
Dalam
ayat tersebut di atas, diingatkan agar kaum mukmin tidak melakukan perbuatan
yang pernah dilakukan kaum Yahudi terhadap nabinya, yaitu perbuatan menyakiti
Nabi Musa as. Perintah berkata yang benar (Qaulan Sadida) didahului oleh
perintah bertakwa, dan pada ayat 71, Allah lebih lanjut menjelaskan bahwa
berkata yang benar (Qaulan Sadid) yang dilakukan oleh landasan takwa itu
akan mengantar pada perbaikan amal dan ampunan dari dosa. Dan pada penutup ayat
71 tersebut ditegaskan bahwa komitmen kepada Allah dan Rasul-Nya sudah
merupakan kemenangan pada tingkat awal.
Sadied
menurut bahasa berarti yang benar, tepat. Al-qosyani menafsirkan Qaulan sadida
dengan : kata yang lurus (qowiman) kata yang benar (Haqqan) kata
yang betul, Coreet, tepat (Sbawaban). Al-Qasyani berkta bahwa sadad
dalam pembicaraan berarti berkata dengan kejujuran dan dengan kebenaran dari
situlah terletak unsur segala kebahagiaan, dan pangkal dari segala
kesempurnaan, karena yang demikian itu berasal dari kemurnian hati.
Dalam
lisanul A’rab Ibnu Mansur berkata bahwa sadied yang dihubungkan dengan qaul
(perkataan) mengandung arti mengenai saran. Dalam konteks ayat 9 surat an-Nisa
ditafsirkan oleh Az-Zamakhasary dengan memberikan contoh, bagaimana dari
orang-orang yang telah menerima wasiat untuk memelihara anak yatim yaitu mereka
jangan melukai hati anak-anak yatim itu dan mereka harus berkata-kata terhadap
mereka layaknya seperti anak-anak mereka sendiri, dengan adab yang baik hati
yang terbuka, ramah tamah.
Dari
beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas, dapatlah dikatakan bahwa
yang dihubungkan dengan kegiatan penyampaian pesan dakwah adalah model dari
pendekatan bahasa dakwah yang bernuansa persuasif. Moh. Natsir dalam fiqbud
Dakwah-nya mengatakan bahwa, Qaulan sadida adalah kata yang lurus (tidak
ber-belit-belit), kata yang benar, keluar dari hati yang suci bersih, dan
diucapkan dengan cara demikian rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang
dituju yakni sehingga panggilan dapat sampai mengetuk pintu akal dan hati
mereka yang dihadapi.
Jadi,
dakwah sebagai kegiatan penyampaian pesan-pesan kebenaran yang bersumber dari
al-Qur’an dan hadits sebagai landasan normatif ajaran Islam memerlukan semua
kemasan penyampaian pesan yang cermat, jitu, dan tepat sehingga tepat pula
mengenai sasaran kegiatan dakwah adalah kegiatan komunikasi, artinya bahwa
dalam berdakwah terdapat kesamaan unsur-unsur yang patut menjadi perhatian
komunitas da’i, diantara komunitas unsur-unsur
pembentuk dakwah adalah :
a.
Da’i
(komunikator)
b.
Materi dakwah
(message)
c.
Sarana dakwah
(medium).
C.
DA’I TERHADAP
MAD’U (KOMUNIKAN)
Da’i sebagai komunikator sudah barang tentu usahanya tidak hanya
terbatas pada usaha menyampaikan pesan (statement of fact) semata-mata
tetapi dia harus juga concern terhadap kelanjutan efek komunikasinya
terhadap komunikan, apakah pesan-pesan dakwah tersebut sudah cukup
membangkitkan rangsangan/dorongan bagi komunikasi tertentu sesuai dengan apa
yang diharapkan, ataukah komunikan tetap pasih (mendengar tetapi tidak mau
melaksanakan) atau bahkan menolak serta antipati dan apatis terhadap pesan
tersebut. Komunitas dari yang memiliki Visi Etis, Profektik, dan Transformatif
dan sarat dengan muatan dinamika, dihadapkan kepada pemikiran-pemikiran yang
solutif terhadap permasalahan realitas
umat yang beragam termasuk di dalamnya bagaimana materi dakwah yang disampaikan
mampu mengambil posisi sebagai stimulator yang dapat memotivator menuju tingkah
laku atau sikap yang sesuai dengan pesan-pesan dakwah.
Di dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 70 terhadap sebuah isyarat
bahwa pesona da’i saja tidak cukup untuk menghantarkan pada peluang
keberhasilan dakwah tanpa dibarengi keahlian dalam mengemas pesan dakwah
menjadi menarik dan dapat dipahami oleh mad’u manakala disampaikan
sesuai dengan cara berpikir dan cara merasa mad’u. Lebih tepatnya da’i selaku
komunkator harus mampu melogikakan pesan dakwah dengan bahasa yang mudah
dipahami sehingga mempunyai daya panggil yang sangat berwibawa terhadap
seseorang,
Dalam keadaan tertentu manusia dapat dipengaruhi kata-kata
tertentu, sehingga ia mengubah tingkah lakunya, atau kata-kata tertentu
mempunyai kekuatan tertentu dalam mengubah tingkah laku manusia. Manusia adalah
makhluk yang paling gemar mempergunakan lambang bahkan dapat dikatakan bahwa
salah satu karakteristik dari manusia yang membedakannya dari makhluk lain
adalah dalam hal kemampuannya berkembang (Simbolicum Animal).
Kekuatan kata-kata (atau tulisan) dalam kaitannya dengan bahasa
dakwah yang persuasif, yakni kata-kata yang dapat menjadi stimulir yang
merangsang respon psikologis mad’u terletak pada jenis-jenis kekuatan sebagai :
1.
Karena
keindahan bahasa seperti bait-bait syair atau puisi
2.
Karena jelasnya
informasi
3.
Karena intonasi
suara yang berwibawa
4.
Karena
logikanya yang sangat kuat
5.
Karena
memberikan harapan/optimisme (Basyiran)
6.
Karena
memberikan peringatan yang mencekam (Nadzirah)
7.
Karena ungkapan
yang penuh dengan ibarat
Al-Qur’an
sebagai aturan hukum-hukum dan pedoman hidup manusia dalam mengajak kebenaran
menggunakan bahasa kata-kata yang sunyi dan bersih dari kekerasan serta
kata-kata menjengkelkan hati. Periodesasi mengenai hukum khamar dan judi,
awalnya dengan ajakan berpikir setelah dipaparkan sedemikin rupa manfaat dan
mudharatnya membuka cakrawala pemahaman dengan renungan hingga timbul kesadaran
tentang duduk persoalan, guna persiapan
bagi penerimaan ketentuan hukum.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ
الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
Artinya
: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berpikir. (Q.S
Al-Baqarah : 219)
Hal yang perlu dicermati di sini adalah bagaimana komunitas da’i
mengendalikan dan merubah sikap seseorang dengan cara yang pesuasif melalui
pendekatan yang sesuai dengan Frame of reference serta lingkungan pengalaman (field of
experience) serta mengenali gejala-gejala kejiwaan tingkah laku manusia
(psikologi).
Bahasa dakwah yang diperintahkan Al-Qur’an sunyi dari kekasaran
lembut, indah, santun, juga membekas pada jiwa, memberi pengharapan hingga
mad’u dpat dikendalikan dan digerakkan perilakunya oleh da’i. Term Qoulan
Sadida merupakan persyaratan umum suatu pesan dakwah agar dakwah persuasif
memilih kata-kata yang tepat mengenai sasaran sesuai dengan field of
experience dan frame of reference komunikan telah dilansir dalam
beberapa bentuk oleh al-Qur’an diantara :
1.
Qoulan
Baligha (perkataan yang membekas pada jiwa)
Ungkapan qaulan baligha terhadap pada surat an-Nisa
ayat : 63 dengan firmanNya :
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي
قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ
قَوْلا بَلِيغًا
Artinya
: “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah
mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari
mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka”. (Q.S
An-Nisa : 63)
Yang dimaksud ayat diatas adalah perilaku orang
munafik. Ketika disuruh untuk memahami hukum Allah, mereka menghalangi orang
lain untuk patuh (ayat 61). Kalau mereka mendapat musibah atau kecelakaan
karena perbuatan mereka sendiri, mereka datang memohon perlindungan atau
bantuan. Mereka inilah yang perlu dihindari diberi pelajaran , atau diberi
penjelasan dengan cara yang berbekas atau ungkapan yang mengesankan. Karena
itu, qaulan baligha dapat diterjemahan kedalam komunikasi yang efektif.
Merujuk pada asal katanya, baligha artinya sampai atau fashih. Jadi, untuk orang munafik tersebut diperlukan
komunikasi efektif yang bisa menggugah jiwanya. Bahasa yang dipakai adalah
bahasa yang akan mengesankan atau membekas pada hatinya. Sebab hatinya banyak
dusta, khianat, dan ingkar janji. Kalau hatinya tidak tersentuh sulit
menundukkannya.
Jalaluddin Rahmat memerinci pengertian qaulan
baligha tersebut menjadi dua, qaula baligha terjadi bila da’i
(komunikator) menyesuaikan pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang
dihadapinya sesuai dengan frame of
reference and field of experience. Kedua, qaulan baligha terjadi
bila komunikator menyentuh khalayaknya pada hati dan otaknya sekaligus.
2.
Qaulan
Layyinan (Perkataan yang lembut)
Term qaulan Layyinan terdapat dalam surat thaha
: 43-44 secara harfiah berarti komuniasi yang lemah lembut (Layyin).
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ
إِنَّهُ طَغَى
Artinya : “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia
telah melampaui batas”. (Q.S Thaha : 43)
فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Artinya
: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Q.S Thaha : 44)
Berkata lembut tersebut adalah perintah Allah kepada Nabi Musa dan
Harun supaya menyampaikan Tabsyier dan Inzar kepada Fir’aun
dengan “Qaulan Layyinan” karena ia telah menjalani kekuasaan melampaui batas,
Musa dan Harun sedikit khawatir menemui Fir’aun yang kejam. Tetapi Allah tahu
dan memberi jaminan.
قَالَ لا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
Artinya : “Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua
khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat".
(Q.S Thaha : 46)
Berhadapan dengan penguasa yang tiran, al-Qur’an
mengajarkan agar berdakwah kepada mereka haruslah bersifat sejuk dan lemah
lembut, tidak kasar dan lantang perkataan yang lantang kepada penguasa tiran
dapat memancing respon yang lebih keras dalam waktu spontan, sehingga
menghilangkan peluang untuk berdialog atau komunikasi antar kedua belah pihak,
da’i dan penguasa sebagai mad’u.
3.
Qaulan
Ma’rufan (Perkataan yang baik)
Qaulan Ma’rufan dapat diterjemahkan dengan ungkapan yang pantas. Salah satu
pengertian ma’rufan secara etimologis adalah al-khair atau ihsan, yang
berarti yang baik-baik. Jadi qaulan ma’rufan mengandung pengertian
perkataan atau ungkapan yang pantas dan baik. Di dalam al-Qur’an ungkapan qaulan
ma’rufan ditemukan pada 3 surat dan 4 ayat. Yakni satu ayat pada surat al-Baqarah
: 235 ayat 2 pada surat an-Nisa : 5 dan 8, serta satu ayat lagi terdapat pada
surat al-Ahzab : 32. Semua ayat ini turun pada periode Madinah seperti
diketahui komunitas Madinah lebih heterogen ketimbang Makkah. Dalam ayat 235
surat al-Baqarah ini qaulan ma’rufan mengandung beberapa pengertian
antara lain rayuan halus terhadap seorang wanita yang ingin dipinang untuk
istri. Jadi, ini merupakan komunikasi etis dalam menimbang perasaan wanita,
apalagi wanita yang diceraikan suaminya. Dalam ayat 5 surat an-Nisa qaulan
ma’rufan berkonotasi kepada pembicara-pembicara yang pantas bagi seorang yang
belum dewasa atau cukup akalnya atau orang dewasa tetapi tergolong bodoh. Kedua
orang tentu tidak siap menerima perkataan bukan ma’ruf karena otaknya tidak
cukup siap menerima apa yang disampaikan. Justru yang menonjol adalah emosinya.
Sedangkan pada ayat 8 surat yang sama mengandung arti
bagaimana menetralisir perasaan famili anak yatim, dan orang miskin yang hadir
ketika ada pembagian warisan. Namun, Islam mengajarkan agar mereka diberi
sekedarnya dan diberi perkataan yang pantas. Artinya, jika diberi tetapi
diiringi dengan perkataan yang tidak pantas, tentu perasaan mereka tersinggung
atau terhiba hati, apalagi tidak diberi apa-apa selain ucapan-ucapan kasar.
Pada ayat 32 surat al-Ahzab qaulan ma’rufan berarti
tuntunan kepada wanita istri rasul agar berbicara yang wajar-wajar saja tidak
perlu bermanja-manja, tersipu-sipu, cengeng, dan sikap berlebihan yang akan
mengundang nafsu birahi lelaki lawan bicara.
Jalaluddin Rahmat menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan
adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika bicara tentang
kewajiban orang-orang kaya atau orang kuat terhadap orang-orang miskin atau
lemah. Qaulan ma’rufan berarti berbicara yang bermanfaat, memberikan
pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap kesulitan kepada
orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material, kita harus dapat
membantu psikologi.
4.
Qaulan
Maisura (perkataan yang ringan)
Istilah qaulan maisura tersebut dalam al-Isra
kalimat maisura berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qaulan maisura
adalah lawan dari kata ma’sura, perkataan yang sulit. Sebagai bahasa
komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, dan
ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku. Dakwah dengan qaulan maisura
artinya yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan mudah dipahami
secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. Pesan dakwah model ini tidak
memerlukan dalil naqli maupun argumen-argumen logika.
Dakwah dengan pendekatan qaulan maisura harus
menjadi pertimbangan mad’u yang dihadapi itu terdiri dari dari :
v Orang tua atau kelompok orang tua yang merasa dituakan, yang sedang
menjalani kesedihan lantaran kurang bijaknya perlakuan anak terhadap orang
tuanya atau oleh kelompok yang lebih muda.
v Orang yang tergolong didzalimi haknya oleh orang-orang yang lebih
kuat.
v Masyarakat yang secara sosial berada di bawah garis kemiskinan,
lapisan masyarakat tersebut sangat peka dengan nasihat yang panjang, karenanya
da’i harus memberikan solusi dengan membantu mereka dalam dakwah bil hal.
5.
Qaulan
Karima (Perkataan yang mulia)
Dakwah dengan qaulan karima sasarannya adalah
orang yang lanjut usia, dedekatan yang digunakan adalah dengan perkataan yang
mulia, santun, penuh penghormatan dan penghargaan tidak menggurui tidak perlu
retorika yang meledak-ledak. Term qaulan karima terdapat dalam surat
isra ayat 23.
Dalam perspektif dakwah maka term pergaulan qaulan
karima diperlakukan jika dakwah itu ditunjukkan kepada kelompok orang yang
sudah masuk kategori usia lanjut. Seorang da’i dalam perhubungan dengan lapisan
mad’u yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap
orang tua sendiri, yakni hormat adan tidak berkata kasar kepadanya. Karena
manusia sepertinya sudah mencapai usia lanjut, bisa saja berbuat salah, atau
melakukan hal-hal yang sesat menurut aturan agama. Sementara itu kondisi fisik
mereka yang mulai melemah membuat mereka mudah tersinggung dan pendekatan
dakwah terhadap orang tersebut telah dilansi dalam al-qur’an dengan term qaulan
karima.
D.
MEMILIH KATA
YANG TEPAT DALAM PERSPEKTIF AS-SUNNAH
Keberhasilan dakwah memenej dan mengatur strategi dakwah. Hal ini
dapat kita telusuri dari aplikasi hikmah yang diterapkan Rasulullah bukan hanya
faktor ilahiyah (takdir Allah), tapi juga disebabkan oleh kelahiran beliau
dalam mencermati adanya perbedaan sarana dan kondisi atau dalam kerangka frame
of reference dan field of experience yang berbeda dari berbagai
objek dakwah. Di bawah ini ada beberapa point isyarat tentang model memilih
kata yang tepat dalam berkomunikasi ketika berhadapan dengan kondisi field
of experience dan frame of reference mad’u yang berbeda :
a.
Dari ali bin
Abi Thalib berkata :
“Berbicaralah
dengan orang sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka, apakah engkau suka Allah
dan Rasul-Nya didustakan”.
Kata
ya’rifuna menunjukan bahwa komunikan telah mempunyai kerangka rujukan
tentang sesuatu sebelum terjadi proses komunikasi. Maka kata yang tepat di sini
komunikator harus berkomunikasi dengan frame of reference yang terdiri
dari qaulan ma’rufan dan qaulan sadida.
b.
Disebutkan
dalam hadits Muslim bahwa :
“Tidaklah
kamu berbicara pada suatu kaum dengan komunikasi yang tidak dapat diterima oleh
tingkat kecerdasan mereka kecuali sebagai mereka akan merupakan fitnah”.
Kata
tabligh dan akal menunjukan bahwa komunikan belum mempunyai pengetahuan tentang
sesuatu (ajaran agama) akan tetapi mempunyai latar belakang pengalaman sesuai
profesi, atau pengetahuan lain (field of experience). Dan pada intinya
komunikan dapat diajak berpikir dan kata yang tepat adalah qaulan baligha.
c.
Dari Aisyah
beliau berkata :
“Rasulullah
memerintahkan kepada kami untuk menempatkan manusia sesuai dengan
kedudukannya”.
Kata
“manazil” adalah posisi mad’u pada strata sosial yang dengan itu
mempengaruhi pada pola pikir dan pengetahuannya (structure cognitif or
thinking pattern). Seperti Fir’aun berkedudukan sebagai raja, orang tua
(kasus Nabi Ibrahim), Qoruan (kasus Nabi Musa). Maka yang tepat adalah qaulan
basanan dan qaulan layyinan.
E.
FIGUR DA’I
DALAM MEMILIH KATA YANG TEPAT
Secara fungsional da’i adalah pemimpin, yakni yang memimpin
masyarakat dalam mengembalikan pada potensi bertuhan atau memimpin dalam menuju
kepada jalan Tuhan. Oleh karenanya, seorang da’i sudah seyogyanya memiliki
sifat-sifat kepemimpinan (leadership). Beberapa yang signifikan dalam qaulan
sadida yang perlu dicermati da’i adalah sebagai berikut :
1.
Mempunyai
pemahaman yang mendalam terhadap isi al-Qur’an, nasikh dan manshuknya,muhkan
mutasyabihab, halal dan haramnya, dan sebagainya.
2.
Ilmu psikolog,
adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang merupakan gejala dari
kejiwaannya.
3.
Sosiologi,
manusia sebagai makhluk sosial sikap dan tingkah lakunya sangat dipengaruhi
oleh situasi sosial. Lingkungan sosial memberikan rangsangan-rangsangan
tertentu dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang, pembentukan
norma-norma, bahkan pengembangan kepribadian itu sendiri hanya mungkin berada
dalam situasi sosial. Bagi seorang da’i pengetahuan untuk mengetahuan ikatan
mad’u atas kelompok sosialnya akan membantu dirinya dalam merumuskan komunikasi
yang akan dilakukan (khususnya dalam mengemas bahasa dakwah).
4.
Komunikasi
Antar Budaya (KAB). Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah Islam
yang rahmatan lil alamin, meliputi seluruh manusia seacara universal bahkan
kelompok atau budaya tertentu saja. Strategi berdasarkan pemahaman budaya
tertentu. Mempelajari Komunikasi Antar Budaya bagi da’i diperlukan sebagai
kelengkapan dalam memahami budaya-budaya manusia yang menjadi objek dakwah.
Karena dengan Komunikasi Antar Budaya ini akan terhindari dari salah tafsir
mengenai mad’u yang dihadapi. Pengetahuan praktis yang mengenai ciri dasar
budaya lain akan meninimalkan keterkejutan tidak menyenangkan (gegar budaya).
5.
Memperhatikan
perbendaharaan kata-kata yang dipergunakan orang lain.
6.
Membaca buku
yang baik dan bermutu.
7.
Mendengar
pidato dari para ahli atau orang terkenal.
8.
Mempelajari
kata-kata baru lalu mempergunakannya.
9.
Membaca kamus
(hindrikus, 1995:209)
F.
AKIBAT TIDAK
MEMILIH KATA YANG TEPAT
Kata-kata memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menggerakkan
tingkah laku manusia mana kala kata-kata yang disajikan mempunyai daya panggil
yang efektif. Setiap kata memiliki isi dan isi kata menghantarkan manusia pada
pengertian-pengertian yang kemudian memunculkan penafsiran-penafsiran terhadap
sebuah pesan yang disampaikan. Menurut ilmu komunikasi yang diterima orang
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1.
Penerimaan
stimuli informasi
2.
Pengolahan
informasi
3.
Penyimpanan
informasi
4.
Menghasilkan
kembali suatu informasi
Al-Qur’an memberikan predikat yang mulia terhadap perkataan orang
yang menyeru kepada jalan Tuhan sebagaimana tercantum dalam surat al-Fussilat :
33 :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى
اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Artinya : “Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang
saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri?" (Q.S al-Fussilat : 33)
Menemukan
kata-kata yang tepat membutuhkan konsentrasi agar apa yang kita pikirkan sesuai
dengan apa yang kita ucapkan. Dapat dibayangkan kerugian-kerugian kerja dakwah
terhadap aset dakwah apabila da’i tidak punya keterampilan menyajikan bahasa
yang indah, baik, halus, dan tepat mengenai sasaran. Diantara kerugian tersebut
adalah sebagai berikut :
1.
Akan terjadi
respon yang negatif, bahkan menentang terhadap gagasan-gagasan berupa pesan
dakwah yang disampaikan atau dalam istilah komunikasi disebut sebagai boomerang
affect. Apabila dalam menyampaikan pesan-pesannya da’i menggunakan kata-kata
yang menyinggung perasaan hingga mad’u merasa ditelanjangi kepribadianya.
Secara normatif juru dakwah diingatkan agar tidak bersikap keras atau kasar
apalagi melukai hati mad’u karena boleh jadi mereka akan menjauh dan antipati
terhadap agama. Allah berfirman :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepada-Nya”. (Q.S al-Imran :
159)
2.
Memunculkan
nilai-nilai apresiatif yang rendah atau bahkan tidak sama sekali terhadap da’i
apabila dalam memilih kata-kata tidak memperhatikan field of experience
dan frame of reference. Menurut penyelidikan, orang yang terdidik dapat
memahami 12.000 pengertian sedangkan orang yang memiliki pendidikan sederhana
hanya memahami 6000-8000 pengertian, dari jumlah perbendaharaan kata-kata yang
dipakai secara pasif ini hanya kira-kira seperlima atau seperempat yang
digunakan secara aktif. Singkatannya apabila yang menggunakan kata-kata tidak
pada porsinya secara tepat menumbuhkan sikap mental yang acuh tak acuh dari
mad’u dan dapat terjadi kebekuan komunikasi.
3.
Apabila da’i
tidak menggunakan kata-kata yang halus dan menyejukkan suasana batin mad’u
hingga mad’u terprovokasi untuk melakukan perbuatan yang hirarkis maka kerja
da’i bukan lagi sebagai da’i yang bijak.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dakwah adalah
pekerjaan atau mempengaruhi manusia mengikuti Islam. Merupakan kegiatan yang
tertua sekaligus menjadi sebab (instrumental) terbentuknya komunitas dan
masyarakat serta peradaban manusia yang dapat menghantarkan kepada cita-cita
ideal dakwah yaitu terwujudnya Khoirul Ummah. Tanpa adanya dakwah maka
masyarakat yang berdimensi “Khourul Ummah” yang terdapat dalam surah Ali Imran
ayat 110 adalah adanya mekanisme kelembagaan maupun non-kelembagaan untuk Amar
Ma’ruf dan Nahi Munkar serta penduduknya beriman.
Dakwah dengan pendekatan qaulan maisura harus menjadi
pertimbangan mad’u yang dihadapi itu terdiri dari dari :
v Orang tua atau kelompok orang tua yang merasa dituakan, yang sedang
menjalani kesedihan lantaran kurang bijaknya perlakuan anak terhadap orang
tuanya atau oleh kelompok yang lebih muda.
v Orang yang tergolong di Dzalimi haknya oleh orang-orang yang lebih
kuat.
v Masyarakat yang secara sosial berada di bawah garis kemiskinan,
lapisan masyarakat tersebut sangat peka dengan nasihat yang panjang, karenanya
da’i harus memberikan solusi dengan membantu mereka dalam dakwah bil hal.
Beberapa yang signifikan dalam qaulan sadidan yang perlu dicermati
da’i adalah sebagai berikut :
1.
Mempunyai
pemahaman yang mendalam terhadap isi al-qur’an, nasikh dan manshuknya,muhkan
mutasyabihab, halal dan haramnya, dan sebagainya.
2.
Ilmu psikolog,
adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang merupakan gejala dari
kejiwaannya.
3.
Sosiologi,
manusia sebagai makhluk sosial sikap dan tingkah lakunya sangat dipengaruhi
oleh situasi sosial.
4.
Komunikasi
Antar Budaya (KAB). Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah Islam
yang rahmatan lil alamin, meliputi seluruh manusia seacara universal
bahkan kelompok atau budaya tertentu saja.
5.
Memperhatikan
perbendaharaan kata-kata yang dipergunakan orang lain.
6.
Membaca buku
yang baik dan bermutu.
7.
Mendengar
pidato dari para ahli atau orang terkenal.
8.
Mempelajari
kata-kata baru lalu mempergunakannya.
9.
Membaca kamus
(hindrikus, 1995:209)
Menurut ilmu komunikasi yang diterima orang melalui tahapan-tahapan
sebagai berikut :
1.
Penerimaan
stimuli informasi
2.
Pengolahan
informasi
3.
Penyimpanan
informasi
4.
Menghasilkan
kembali suatu informasi
SARAN
Adapun saran yang bisa penulis berikan :
1.
Kepada semua pembaca bila mendapat kekeliruan dalam makalah ini harap bisa
meluruskannya.
2.
Untuk supaya bisa membaca kembali literatur-literatur yang berkenaan dengan
pembahasan ini sehingga diharapkan akan bisa lebih menyempurnakan kembali
pembahasan materi dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta Munzier, Hefni Harjani. 2006. Metode Dakwah. Jakarta
: Prenada media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar