Senin, 24 April 2017

makalah metode dakwah



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dakwah adalah pekerjaan atau mempengaruhi manusia mengikuti Islam. Merupakan kegiatan yang tertua sekaligus menjadi sebab (instrumental) terbentuknya komunitas dan masyarakat serta peradaban manusia yang dapat menghantarkan kepada cita-cita ideal dakwah yaitu terwujudnya Khoirul Ummah. Tanpa adanya dakwah maka masyarakat yang berdimensi “Khourul Ummah” yang terdapat dalam surah Ali Imran ayat 110 adalah adanya mekanisme kelembagaan maupun non-kelembagaan untuk Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar serta penduduknya beriman.
Usaha mewujudkan komunitas masyarakat yang merealisasikan ajaran Islam, sudah barang tentu sebuah pekerjaan yang menuntut adanya pemahaman keilmuan yang mendalam baik secara teoritis maupun terapan. Hal ini merupakan keharusan yang tidak bisa terpisah bagi komunitas da’i (Agent of Change) dan melekat sebagai kepribadian yang syamil dalam menggerakkan keutamaan dengan menegakkan yang baik dan mencegah yang mungkar. Alasan yang cukup representatif untuk da’i sebagai bagian dari masyarakat yang mengemban fungsi yang mulia. Sebagaimana tertera dalam firman Allah QS ali Imran 3-104.
Mengubah tingkah laku manusia dengan dakwah berarti aktivitas dakwah diharapkan mampu memahami motivasi-motivasi atau dengan dorongan-dorongan fisiologis, psikis, dan dorongan-dorongan tidak sadar sebagai penggerak tingkah laku manusia yang sangat beragam.
Lebih tepatnya manusia, baik secara individual maupun secara sosial yang menjadi komplek dan mempunyai berbagai ragam problematika dengan dimensi persoalan yang tidak sedikit, perangkat kebijakan yang bernuansa pada hikmah adalah sesuatu yang harus dimunculkan dalam melihat mad’u yang sangat beragam, sehingga komunitas da’i sebagai Agent of Change mampu membedah suasana batin masyarakat mad’u, menelusuri masalah psikologis yang dihadapi oleh mad’u, dan sebagainya.

B.       Rumusan Masalah
Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam penyusunan makalah ini, maka kami  merumuskan masalah sebagai berikut:
1.         Hikmah dalam konteks memilih kata yang tepat
2.         Memilih kata yang tepat dalam A-qur’an
3.         Da’i terhadap mad’u
4.         Memilih kata yang tepat dalam perspektif al-sunnah
5.         Figur da’i dalam memilih kata yang tepat

C.       Tujuan
Adapun tujuan penulisan dalam membahas masalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana :
1.         Hikmah dalam konteks memilih kata yang tepat
2.         Memilih kata yang tepat dalam A-qur’an
3.         Da’i terhadap mad’u
4.         Memilih kata yang tepat dalam perspektif al-sunnah
5.         Figur da’i dalam memilih kata yang tepat















BAB II
PEMBAHASAN


A.      HIKMAH DALAM KONTEKS MEMILIH KATA YANG TEPAT

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab bahwa Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya diantara syair terdapat hikmah”. Maksud dari syair tersebut adalah perkataan yang benar dan sesuai dengan kebenaran. Ada pula yang berpendapat bahwa dasar hikmah tersebut adalah pencegahan. Maknanya diantara syair ada perkataan yang bermanfaat dan mencegah kebodohan. Pada umumnya sebuah syair mempunyai bentuk kata-kata yang singkat, padat, namun dapat menggambarkan suasana kejiwaan si penyair secara utuh dan tepat baik perasaannya dan pikirannya terhadap objek tertentu. Kata-kata dalam setiap bait menyentuh menghujam jauh pada relung sanubari yang paling dalam hingga menggugah perasaan menghantarkan pada setiap renungan, untuk lebih jelas mengenai hal demikian pemakalah menukil beberapa syair.
Dalam bermunajat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib membaca syair yang tergubah dalam Bahar Wafir.
Dari sini terlihat hubungan yang erat antara hikmah dengan memilih kata yang tepat. Salah satu sifat orang yang bijaksana (orang yang memiliki hikmah) adalah berpikir dahulu sebelum berkata. Kata-kata yang keluar dari seorang hakim adalah dipertimbangkan dahulu, sehingga benar dan sesuai dengan keadaan buman oriented.


B.       MEMILIH KATA YANG TEPAT DALAM AL-QUR’AN

Menurut Larry A. Samover “We Canot Not Communicate” oleh karena itu manusia tidak dapat menghindari dari komunikasi dalam interaksi sesamanya. Pada hakikatnya ketika manusia berkomunikasi pada dasarnya memindahkan atau menyalin pikirannya dalam bentuk lambang. Agar lambang itu bermakna maka perlu disampaikan secara tepat. Karena tujuan dasar komunikasi tersebut antara lain mencetak kesan orang lain dan memberikan kontribusi realitas (Impression Management and Reality Contributive).
Memilih kata yang tepat menurut perspektif al-Qur’an adalah term Qaulan Sadida disebutkan sebanyak 2 kali yaitu pada ayat 9 surat an-Nisa dimana stressing pembicaraan mengenai hukum waris pada surat al-Ahzab ayat 70-71.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”.

يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Artinya : “Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”.

Dalam ayat tersebut di atas, diingatkan agar kaum mukmin tidak melakukan perbuatan yang pernah dilakukan kaum Yahudi terhadap nabinya, yaitu perbuatan menyakiti Nabi Musa as. Perintah berkata yang benar (Qaulan Sadida) didahului oleh perintah bertakwa, dan pada ayat 71, Allah lebih lanjut menjelaskan bahwa berkata yang benar (Qaulan Sadid) yang dilakukan oleh landasan takwa itu akan mengantar pada perbaikan amal dan ampunan dari dosa. Dan pada penutup ayat 71 tersebut ditegaskan bahwa komitmen kepada Allah dan Rasul-Nya sudah merupakan kemenangan pada tingkat awal.
Sadied menurut bahasa berarti yang benar, tepat. Al-qosyani menafsirkan Qaulan sadida dengan : kata yang lurus (qowiman) kata yang benar (Haqqan) kata yang betul, Coreet, tepat (Sbawaban). Al-Qasyani berkta bahwa sadad dalam pembicaraan berarti berkata dengan kejujuran dan dengan kebenaran dari situlah terletak unsur segala kebahagiaan, dan pangkal dari segala kesempurnaan, karena yang demikian itu berasal dari kemurnian hati.
Dalam lisanul A’rab Ibnu Mansur berkata bahwa sadied yang dihubungkan dengan qaul (perkataan) mengandung arti mengenai saran. Dalam konteks ayat 9 surat an-Nisa ditafsirkan oleh Az-Zamakhasary dengan memberikan contoh, bagaimana dari orang-orang yang telah menerima wasiat untuk memelihara anak yatim yaitu mereka jangan melukai hati anak-anak yatim itu dan mereka harus berkata-kata terhadap mereka layaknya seperti anak-anak mereka sendiri, dengan adab yang baik hati yang terbuka, ramah tamah.
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas, dapatlah dikatakan bahwa yang dihubungkan dengan kegiatan penyampaian pesan dakwah adalah model dari pendekatan bahasa dakwah yang bernuansa persuasif. Moh. Natsir dalam fiqbud Dakwah-nya mengatakan bahwa, Qaulan sadida adalah kata yang lurus (tidak ber-belit-belit), kata yang benar, keluar dari hati yang suci bersih, dan diucapkan dengan cara demikian rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju yakni sehingga panggilan dapat sampai mengetuk pintu akal dan hati mereka yang dihadapi.
Jadi, dakwah sebagai kegiatan penyampaian pesan-pesan kebenaran yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits sebagai landasan normatif ajaran Islam memerlukan semua kemasan penyampaian pesan yang cermat, jitu, dan tepat sehingga tepat pula mengenai sasaran kegiatan dakwah adalah kegiatan komunikasi, artinya bahwa dalam berdakwah terdapat kesamaan unsur-unsur yang patut menjadi perhatian komunitas da’i, diantara komunitas unsur-unsur  pembentuk dakwah adalah :
a.         Da’i (komunikator)
b.         Materi dakwah (message)
c.         Sarana dakwah (medium).



C.       DA’I TERHADAP MAD’U (KOMUNIKAN)
Da’i sebagai komunikator sudah barang tentu usahanya tidak hanya terbatas pada usaha menyampaikan pesan (statement of fact) semata-mata tetapi dia harus juga concern terhadap kelanjutan efek komunikasinya terhadap komunikan, apakah pesan-pesan dakwah tersebut sudah cukup membangkitkan rangsangan/dorongan bagi komunikasi tertentu sesuai dengan apa yang diharapkan, ataukah komunikan tetap pasih (mendengar tetapi tidak mau melaksanakan) atau bahkan menolak serta antipati dan apatis terhadap pesan tersebut. Komunitas dari yang memiliki Visi Etis, Profektik, dan Transformatif dan sarat dengan muatan dinamika, dihadapkan kepada pemikiran-pemikiran yang solutif terhadap permasalahan  realitas umat yang beragam termasuk di dalamnya bagaimana materi dakwah yang disampaikan mampu mengambil posisi sebagai stimulator yang dapat memotivator menuju tingkah laku atau sikap yang sesuai dengan pesan-pesan dakwah.
Di dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 70 terhadap sebuah isyarat bahwa pesona da’i saja tidak cukup untuk menghantarkan pada peluang keberhasilan dakwah tanpa dibarengi keahlian dalam mengemas pesan dakwah menjadi menarik dan dapat dipahami oleh mad’u manakala disampaikan sesuai dengan cara berpikir dan cara merasa mad’u. Lebih tepatnya da’i selaku komunkator harus mampu melogikakan pesan dakwah dengan bahasa yang mudah dipahami sehingga mempunyai daya panggil yang sangat berwibawa terhadap seseorang,
Dalam keadaan tertentu manusia dapat dipengaruhi kata-kata tertentu, sehingga ia mengubah tingkah lakunya, atau kata-kata tertentu mempunyai kekuatan tertentu dalam mengubah tingkah laku manusia. Manusia adalah makhluk yang paling gemar mempergunakan lambang bahkan dapat dikatakan bahwa salah satu karakteristik dari manusia yang membedakannya dari makhluk lain adalah dalam hal kemampuannya berkembang (Simbolicum Animal).
Kekuatan kata-kata (atau tulisan) dalam kaitannya dengan bahasa dakwah yang persuasif, yakni kata-kata yang dapat menjadi stimulir yang merangsang respon psikologis mad’u terletak pada jenis-jenis kekuatan sebagai :
1.         Karena keindahan bahasa seperti bait-bait syair atau puisi
2.         Karena jelasnya informasi
3.         Karena intonasi suara yang berwibawa
4.         Karena logikanya yang sangat kuat
5.         Karena memberikan harapan/optimisme (Basyiran)
6.         Karena memberikan peringatan yang mencekam (Nadzirah)
7.         Karena ungkapan yang penuh dengan ibarat

Al-Qur’an sebagai aturan hukum-hukum dan pedoman hidup manusia dalam mengajak kebenaran menggunakan bahasa kata-kata yang sunyi dan bersih dari kekerasan serta kata-kata menjengkelkan hati. Periodesasi mengenai hukum khamar dan judi, awalnya dengan ajakan berpikir setelah dipaparkan sedemikin rupa manfaat dan mudharatnya membuka cakrawala pemahaman dengan renungan hingga timbul kesadaran tentang duduk persoalan,  guna persiapan bagi penerimaan ketentuan hukum.

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. (Q.S Al-Baqarah : 219)


Hal yang perlu dicermati di sini adalah bagaimana komunitas da’i mengendalikan dan merubah sikap seseorang dengan cara yang pesuasif melalui pendekatan yang sesuai dengan Frame of reference  serta lingkungan pengalaman (field of experience) serta mengenali gejala-gejala kejiwaan tingkah laku manusia (psikologi).
Bahasa dakwah yang diperintahkan Al-Qur’an sunyi dari kekasaran lembut, indah, santun, juga membekas pada jiwa, memberi pengharapan hingga mad’u dpat dikendalikan dan digerakkan perilakunya oleh da’i. Term Qoulan Sadida merupakan persyaratan umum suatu pesan dakwah agar dakwah persuasif memilih kata-kata yang tepat mengenai sasaran sesuai dengan field of experience dan frame of reference komunikan telah dilansir dalam beberapa bentuk oleh al-Qur’an diantara :

1.         Qoulan Baligha (perkataan yang membekas pada jiwa)
Ungkapan qaulan baligha terhadap pada surat an-Nisa ayat : 63 dengan firmanNya :

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا
Artinya : “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”. (Q.S An-Nisa : 63)

Yang dimaksud ayat diatas adalah perilaku orang munafik. Ketika disuruh untuk memahami hukum Allah, mereka menghalangi orang lain untuk patuh (ayat 61). Kalau mereka mendapat musibah atau kecelakaan karena perbuatan mereka sendiri, mereka datang memohon perlindungan atau bantuan. Mereka inilah yang perlu dihindari diberi pelajaran , atau diberi penjelasan dengan cara yang berbekas atau ungkapan yang mengesankan. Karena itu, qaulan baligha dapat diterjemahan kedalam komunikasi yang efektif. Merujuk pada asal katanya, baligha artinya sampai atau fashih. Jadi,  untuk orang munafik tersebut diperlukan komunikasi efektif yang bisa menggugah jiwanya. Bahasa yang dipakai adalah bahasa yang akan mengesankan atau membekas pada hatinya. Sebab hatinya banyak dusta, khianat, dan ingkar janji. Kalau hatinya tidak tersentuh sulit menundukkannya.
Jalaluddin Rahmat memerinci pengertian qaulan baligha tersebut menjadi dua, qaula baligha terjadi bila da’i (komunikator) menyesuaikan pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang dihadapinya  sesuai dengan frame of reference and field of experience. Kedua, qaulan baligha terjadi bila komunikator menyentuh khalayaknya pada hati dan otaknya sekaligus.

2.         Qaulan Layyinan (Perkataan yang lembut)
Term qaulan Layyinan terdapat dalam surat thaha : 43-44 secara harfiah berarti komuniasi yang lemah lembut (Layyin).

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

Artinya : “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas”. (Q.S Thaha : 43)


فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Artinya : “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Q.S Thaha : 44)

Berkata lembut tersebut adalah perintah Allah kepada Nabi Musa dan Harun supaya menyampaikan Tabsyier dan Inzar kepada Fir’aun dengan “Qaulan Layyinan” karena ia telah menjalani kekuasaan melampaui batas, Musa dan Harun sedikit khawatir menemui Fir’aun yang kejam. Tetapi Allah tahu dan memberi jaminan.

قَالَ لا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى

Artinya : “Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat". (Q.S Thaha : 46)

Berhadapan dengan penguasa yang tiran, al-Qur’an mengajarkan agar berdakwah kepada mereka haruslah bersifat sejuk dan lemah lembut, tidak kasar dan lantang perkataan yang lantang kepada penguasa tiran dapat memancing respon yang lebih keras dalam waktu spontan, sehingga menghilangkan peluang untuk berdialog atau komunikasi antar kedua belah pihak, da’i dan penguasa sebagai mad’u.

3.         Qaulan Ma’rufan (Perkataan yang baik)
Qaulan Ma’rufan dapat diterjemahkan dengan ungkapan yang pantas. Salah satu pengertian ma’rufan secara etimologis adalah al-khair atau ihsan, yang berarti yang baik-baik. Jadi qaulan ma’rufan mengandung pengertian perkataan atau ungkapan yang pantas dan baik. Di dalam al-Qur’an ungkapan qaulan ma’rufan ditemukan pada 3 surat dan 4 ayat. Yakni satu ayat pada surat al-Baqarah : 235 ayat 2 pada surat an-Nisa : 5 dan 8, serta satu ayat lagi terdapat pada surat al-Ahzab : 32. Semua ayat ini turun pada periode Madinah seperti diketahui komunitas Madinah lebih heterogen ketimbang Makkah. Dalam ayat 235 surat al-Baqarah ini qaulan ma’rufan mengandung beberapa pengertian antara lain rayuan halus terhadap seorang wanita yang ingin dipinang untuk istri. Jadi, ini merupakan komunikasi etis dalam menimbang perasaan wanita, apalagi wanita yang diceraikan suaminya. Dalam ayat 5 surat an-Nisa qaulan ma’rufan berkonotasi kepada pembicara-pembicara yang pantas bagi seorang yang belum dewasa atau cukup akalnya atau orang dewasa tetapi tergolong bodoh. Kedua orang tentu tidak siap menerima perkataan bukan ma’ruf karena otaknya tidak cukup siap menerima apa yang disampaikan. Justru yang menonjol adalah emosinya.
Sedangkan pada ayat 8 surat yang sama mengandung arti bagaimana menetralisir perasaan famili anak yatim, dan orang miskin yang hadir ketika ada pembagian warisan. Namun, Islam mengajarkan agar mereka diberi sekedarnya dan diberi perkataan yang pantas. Artinya, jika diberi tetapi diiringi dengan perkataan yang tidak pantas, tentu perasaan mereka tersinggung atau terhiba hati, apalagi tidak diberi apa-apa selain ucapan-ucapan kasar.
Pada ayat 32 surat al-Ahzab qaulan ma’rufan berarti tuntunan kepada wanita istri rasul agar berbicara yang wajar-wajar saja tidak perlu bermanja-manja, tersipu-sipu, cengeng, dan sikap berlebihan yang akan mengundang nafsu birahi lelaki lawan bicara.
Jalaluddin Rahmat menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika bicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau orang kuat terhadap orang-orang miskin atau lemah. Qaulan ma’rufan berarti berbicara yang bermanfaat, memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap kesulitan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material, kita harus dapat membantu psikologi.

4.         Qaulan Maisura (perkataan yang ringan)
Istilah qaulan maisura tersebut dalam al-Isra kalimat maisura berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qaulan maisura adalah lawan dari kata ma’sura, perkataan yang sulit. Sebagai bahasa komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, dan ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku. Dakwah dengan qaulan maisura artinya yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan mudah dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. Pesan dakwah model ini tidak memerlukan dalil naqli maupun argumen-argumen logika.
Dakwah dengan pendekatan qaulan maisura harus menjadi pertimbangan mad’u yang dihadapi itu terdiri dari dari :
v  Orang tua atau kelompok orang tua yang merasa dituakan, yang sedang menjalani kesedihan lantaran kurang bijaknya perlakuan anak terhadap orang tuanya atau oleh kelompok yang lebih muda.
v  Orang yang tergolong didzalimi haknya oleh orang-orang yang lebih kuat.
v  Masyarakat yang secara sosial berada di bawah garis kemiskinan, lapisan masyarakat tersebut sangat peka dengan nasihat yang panjang, karenanya da’i harus memberikan solusi dengan membantu mereka dalam dakwah bil hal.

5.         Qaulan Karima (Perkataan yang mulia)
Dakwah dengan qaulan karima sasarannya adalah orang yang lanjut usia, dedekatan yang digunakan adalah dengan perkataan yang mulia, santun, penuh penghormatan dan penghargaan tidak menggurui tidak perlu retorika yang meledak-ledak. Term qaulan karima terdapat dalam surat isra ayat 23.
Dalam perspektif dakwah maka term pergaulan qaulan karima diperlakukan jika dakwah itu ditunjukkan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut. Seorang da’i dalam perhubungan dengan lapisan mad’u yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap orang tua sendiri, yakni hormat adan tidak berkata kasar kepadanya. Karena manusia sepertinya sudah mencapai usia lanjut, bisa saja berbuat salah, atau melakukan hal-hal yang sesat menurut aturan agama. Sementara itu kondisi fisik mereka yang mulai melemah membuat mereka mudah tersinggung dan pendekatan dakwah terhadap orang tersebut telah dilansi dalam al-qur’an dengan term qaulan karima.

D.      MEMILIH KATA YANG TEPAT DALAM PERSPEKTIF AS-SUNNAH
Keberhasilan dakwah memenej dan mengatur strategi dakwah. Hal ini dapat kita telusuri dari aplikasi hikmah yang diterapkan Rasulullah bukan hanya faktor ilahiyah (takdir Allah), tapi juga disebabkan oleh kelahiran beliau dalam mencermati adanya perbedaan sarana dan kondisi atau dalam kerangka frame of reference dan field of experience yang berbeda dari berbagai objek dakwah. Di bawah ini ada beberapa point isyarat tentang model memilih kata yang tepat dalam berkomunikasi ketika berhadapan dengan kondisi field of experience dan frame of reference mad’u yang berbeda :
a.         Dari ali bin Abi Thalib berkata :
Berbicaralah dengan orang sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka, apakah engkau suka Allah dan Rasul-Nya didustakan”.
Kata ya’rifuna menunjukan bahwa komunikan telah mempunyai kerangka rujukan tentang sesuatu sebelum terjadi proses komunikasi. Maka kata yang tepat di sini komunikator harus berkomunikasi dengan frame of reference yang terdiri dari qaulan ma’rufan dan qaulan sadida.
b.         Disebutkan dalam hadits Muslim bahwa :
Tidaklah kamu berbicara pada suatu kaum dengan komunikasi yang tidak dapat diterima oleh tingkat kecerdasan mereka kecuali sebagai mereka akan merupakan fitnah”.
Kata tabligh dan akal menunjukan bahwa komunikan belum mempunyai pengetahuan tentang sesuatu (ajaran agama) akan tetapi mempunyai latar belakang pengalaman sesuai profesi, atau pengetahuan lain (field of experience). Dan pada intinya komunikan dapat diajak berpikir dan kata yang tepat adalah qaulan baligha.
c.         Dari Aisyah beliau berkata :
“Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk menempatkan manusia sesuai dengan kedudukannya”.
Kata “manazil” adalah posisi mad’u pada strata sosial yang dengan itu mempengaruhi pada pola pikir dan pengetahuannya (structure cognitif or thinking pattern). Seperti Fir’aun berkedudukan sebagai raja, orang tua (kasus Nabi Ibrahim), Qoruan (kasus Nabi Musa). Maka yang tepat adalah qaulan basanan dan qaulan layyinan.

E.       FIGUR DA’I DALAM MEMILIH KATA YANG TEPAT
Secara fungsional da’i adalah pemimpin, yakni yang memimpin masyarakat dalam mengembalikan pada potensi bertuhan atau memimpin dalam menuju kepada jalan Tuhan. Oleh karenanya, seorang da’i sudah seyogyanya memiliki sifat-sifat kepemimpinan (leadership). Beberapa yang signifikan dalam qaulan sadida yang perlu dicermati da’i adalah sebagai berikut :
1.         Mempunyai pemahaman yang mendalam terhadap isi al-Qur’an, nasikh dan manshuknya,muhkan mutasyabihab, halal dan haramnya, dan sebagainya.
2.         Ilmu psikolog, adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang merupakan gejala dari kejiwaannya.
3.         Sosiologi, manusia sebagai makhluk sosial sikap dan tingkah lakunya sangat dipengaruhi oleh situasi sosial. Lingkungan sosial memberikan rangsangan-rangsangan tertentu dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang, pembentukan norma-norma, bahkan pengembangan kepribadian itu sendiri hanya mungkin berada dalam situasi sosial. Bagi seorang da’i pengetahuan untuk mengetahuan ikatan mad’u atas kelompok sosialnya akan membantu dirinya dalam merumuskan komunikasi yang akan dilakukan (khususnya dalam mengemas bahasa dakwah).
4.         Komunikasi Antar Budaya (KAB). Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah Islam yang rahmatan lil alamin, meliputi seluruh manusia seacara universal bahkan kelompok atau budaya tertentu saja. Strategi berdasarkan pemahaman budaya tertentu. Mempelajari Komunikasi Antar Budaya bagi da’i diperlukan sebagai kelengkapan dalam memahami budaya-budaya manusia yang menjadi objek dakwah. Karena dengan Komunikasi Antar Budaya ini akan terhindari dari salah tafsir mengenai mad’u yang dihadapi. Pengetahuan praktis yang mengenai ciri dasar budaya lain akan meninimalkan keterkejutan tidak menyenangkan (gegar budaya).
5.         Memperhatikan perbendaharaan kata-kata yang dipergunakan orang lain.
6.         Membaca buku yang baik dan bermutu.
7.         Mendengar pidato dari para ahli atau orang terkenal.
8.         Mempelajari kata-kata baru lalu mempergunakannya.
9.         Membaca kamus (hindrikus, 1995:209)

F.        AKIBAT TIDAK MEMILIH KATA YANG TEPAT
Kata-kata memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menggerakkan tingkah laku manusia mana kala kata-kata yang disajikan mempunyai daya panggil yang efektif. Setiap kata memiliki isi dan isi kata menghantarkan manusia pada pengertian-pengertian yang kemudian memunculkan penafsiran-penafsiran terhadap sebuah pesan yang disampaikan. Menurut ilmu komunikasi yang diterima orang melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1.         Penerimaan stimuli informasi
2.         Pengolahan informasi
3.         Penyimpanan informasi
4.         Menghasilkan kembali suatu informasi
Al-Qur’an memberikan predikat yang mulia terhadap perkataan orang yang menyeru kepada jalan Tuhan sebagaimana tercantum dalam surat al-Fussilat : 33 :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Artinya : “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (Q.S al-Fussilat : 33)
Menemukan kata-kata yang tepat membutuhkan konsentrasi agar apa yang kita pikirkan sesuai dengan apa yang kita ucapkan. Dapat dibayangkan kerugian-kerugian kerja dakwah terhadap aset dakwah apabila da’i tidak punya keterampilan menyajikan bahasa yang indah, baik, halus, dan tepat mengenai sasaran. Diantara kerugian tersebut adalah sebagai berikut :
1.         Akan terjadi respon yang negatif, bahkan menentang terhadap gagasan-gagasan berupa pesan dakwah yang disampaikan atau dalam istilah komunikasi disebut sebagai boomerang affect. Apabila dalam menyampaikan pesan-pesannya da’i menggunakan kata-kata yang menyinggung perasaan hingga mad’u merasa ditelanjangi kepribadianya. Secara normatif juru dakwah diingatkan agar tidak bersikap keras atau kasar apalagi melukai hati mad’u karena boleh jadi mereka akan menjauh dan antipati terhadap agama. Allah berfirman :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”. (Q.S al-Imran : 159)
2.         Memunculkan nilai-nilai apresiatif yang rendah atau bahkan tidak sama sekali terhadap da’i apabila dalam memilih kata-kata tidak memperhatikan field of experience dan frame of reference. Menurut penyelidikan, orang yang terdidik dapat memahami 12.000 pengertian sedangkan orang yang memiliki pendidikan sederhana hanya memahami 6000-8000 pengertian, dari jumlah perbendaharaan kata-kata yang dipakai secara pasif ini hanya kira-kira seperlima atau seperempat yang digunakan secara aktif. Singkatannya apabila yang menggunakan kata-kata tidak pada porsinya secara tepat menumbuhkan sikap mental yang acuh tak acuh dari mad’u dan dapat terjadi kebekuan komunikasi.
3.         Apabila da’i tidak menggunakan kata-kata yang halus dan menyejukkan suasana batin mad’u hingga mad’u terprovokasi untuk melakukan perbuatan yang hirarkis maka kerja da’i bukan lagi sebagai da’i yang bijak.







BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dakwah adalah pekerjaan atau mempengaruhi manusia mengikuti Islam. Merupakan kegiatan yang tertua sekaligus menjadi sebab (instrumental) terbentuknya komunitas dan masyarakat serta peradaban manusia yang dapat menghantarkan kepada cita-cita ideal dakwah yaitu terwujudnya Khoirul Ummah. Tanpa adanya dakwah maka masyarakat yang berdimensi “Khourul Ummah” yang terdapat dalam surah Ali Imran ayat 110 adalah adanya mekanisme kelembagaan maupun non-kelembagaan untuk Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar serta penduduknya beriman.
Dakwah dengan pendekatan qaulan maisura harus menjadi pertimbangan mad’u yang dihadapi itu terdiri dari dari :
v  Orang tua atau kelompok orang tua yang merasa dituakan, yang sedang menjalani kesedihan lantaran kurang bijaknya perlakuan anak terhadap orang tuanya atau oleh kelompok yang lebih muda.
v  Orang yang tergolong di Dzalimi haknya oleh orang-orang yang lebih kuat.
v  Masyarakat yang secara sosial berada di bawah garis kemiskinan, lapisan masyarakat tersebut sangat peka dengan nasihat yang panjang, karenanya da’i harus memberikan solusi dengan membantu mereka dalam dakwah bil hal.
Beberapa yang signifikan dalam qaulan sadidan yang perlu dicermati da’i adalah sebagai berikut :
1.         Mempunyai pemahaman yang mendalam terhadap isi al-qur’an, nasikh dan manshuknya,muhkan mutasyabihab, halal dan haramnya, dan sebagainya.
2.         Ilmu psikolog, adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang merupakan gejala dari kejiwaannya.
3.         Sosiologi, manusia sebagai makhluk sosial sikap dan tingkah lakunya sangat dipengaruhi oleh situasi sosial.
4.         Komunikasi Antar Budaya (KAB). Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah Islam yang rahmatan lil alamin, meliputi seluruh manusia seacara universal bahkan kelompok atau budaya tertentu saja.
5.         Memperhatikan perbendaharaan kata-kata yang dipergunakan orang lain.
6.         Membaca buku yang baik dan bermutu.
7.         Mendengar pidato dari para ahli atau orang terkenal.
8.         Mempelajari kata-kata baru lalu mempergunakannya.
9.         Membaca kamus (hindrikus, 1995:209)
Menurut ilmu komunikasi yang diterima orang melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1.         Penerimaan stimuli informasi
2.         Pengolahan informasi
3.         Penyimpanan informasi
4.         Menghasilkan kembali suatu informasi

SARAN
Adapun saran yang bisa penulis berikan :
1.         Kepada semua pembaca bila mendapat kekeliruan dalam makalah ini harap bisa meluruskannya.
2.         Untuk supaya bisa membaca kembali literatur-literatur yang berkenaan dengan pembahasan ini sehingga diharapkan akan bisa lebih menyempurnakan kembali pembahasan materi dalam makalah ini.







DAFTAR PUSTAKA
Suparta Munzier, Hefni Harjani. 2006. Metode Dakwah. Jakarta : Prenada media.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar