Selasa, 13 September 2016

TASAWUF IRFANI

TASAWUF IRFANI



 



  

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Disamping tasawuf akhlaki yang membahas soal moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan berkata benar, ada juga tasawuf irfani yang lebih tinggi lagi. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi. Kita tidak ingin dipuji, atau jika dipuji tidak pernah berubah, dan apabila dicaci maki juga tidak pernah berubah. Semuanya adalah untuk Allah SWT.
Untuk memahami lebih mendalam, berikut ini akan kami kemukakan tokoh-tokoh beserta ajaran dari tasawuf irfani ini.
B.   Rumusan Masalah
1.     Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf irfani ?
2.     Apa saja ajaran-ajaran tasawuf irfani?
C.   Tujuan Penulisan
1.     Memberitahu pembaca tentang tokoh-tokoh tasawuf irfani
2.     Memberitahu pembaca tentang ajaran-ajaran tasawuf irfani













BAB II
PEMBAHSAN

A.   Tokoh-tokoh tasawuf irfani

1.      Rabi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia putri keempat, orangtuanya menamakannya Rabi’ah. Kedua orangtuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuanya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.
2.      Dzu An-Nun Al-Misri
Dzu An-Nun Al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M dan meninggal pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberi Allah SWT kepadanya. Diantaranya, ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula Al-Misri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Al-Misri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Siria, Pegunungan Lebanon, Anthokiah, dan Lembah Kan’an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka.
Al-Misri hidup pada masa awal pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberanian itu yang menyebabkan harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindiq. Akibatnya, ia pernah dipanggil menghadap khalifah Al-Mutawakkil. Akan tetapi, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umum tatkala ia meninggalkan dunia yang fana’ ini.


3.      Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai keajaiban. Kata ibunya, bayinya yang dalam kandungannya akan membrontak sampai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.
Ketika meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada kedua orangtuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman, “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada orangtuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang kerumahnya untuk menemui ibunya. Ini suatu gambaran tentang upayanya memnuhi setiap panggilan Allah SWT.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan kepada Abu Yazid ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya. Hanya, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan, dan minum.
4.      Abu Manshur Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/855 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah At-Tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian, ia pergi ke Basrah dan berguru pada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu, ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia diberi gelar Al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.
Dalam semua perjalanan dan pengembaraannya ke berbagai kawasan Islam, seperti Islam, seperti Khurasan, Ahwaz, India, Turkistan, dan Mekah, Al-Hallaj banyak memperoleh pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad pada tahun 296 H/909 M. Di Baghdad, pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan, ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr Al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik, pemerintahan yang bersih.
Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Gagasan “pemerintahan yang bersih” dari Nashr Al-Qusyairi dan Al-Hallaj ini berbahaya karena khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambang saja. Pada waktu yang sama, aliran-aliran keagamaan dan tasawuf tumbuh dengan subur. Pemerintah sangat khawatir terhadap kecaman-kecamannya yang sangat keras dan pengaruh sufi je dalam struktur politik. Oleh karena itu, ucapan Al-Hallaj “ana al-haqq”, yang konon tidak bisa dimaafkan para ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkap dan memenjarakannya. Setahun kemudian, ia dapat meloloskan diri  dari penjara berkat pertolongan sopir penjara, tetapi empat tahun kemudian, ia tertangkap lagi di kota Sus.
Setelah dipenjara selama delapan tahun, Al-Hallaj dihukum gantung. Sebelum digantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu dipenggal kepalanya. Akan tetapi, sebelum dipancung, ia meminta waktu untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Setelah selesai shalat, kaki dan tangannya dipotong, badannya digulung dalam tikar bambu laku dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Al-Hallaj wafat pada tahun 922 M.
Kematian tragis Al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar para pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang. Terbukti setelah satu abad kematianny, di Irak ada 4000 orang yang menamakan diri Hallajiyah. Di sisi lain, pengaruhnya sangat besar terhadap para pengikutnya. Ia dianggap mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramitah.

B.     Ajaran-ajaran Tasawuf Irfani

1)      Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah
Rabi’ah Al-Adawiyah tercatat dalam perkembangan mistisme dalam islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah SWT. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukkan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT.
Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang mencintaimu oleh api neraka? Tiba-tiba terdengar suara,Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada kami.”
Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu hubb al-hawa dan hubb anta ahl lahu, kami kutip tafsiran beberapa tokoh berikut Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qutub sebagaimana dijelaskan Badawi memberikan penafsiran bahwa makna hub al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah SWT. Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat materiil,tidak spiritual karenanya hubb disini bersifat hub indriawi. Walaupun demikian, hubb al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah,tidak bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Sebab Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi memandang suatu yang ada dibalik nikmat. Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak di dorong kesenangan indriawi,tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada Dzat yang dicintai.
“Mungkin yang Rabi’ah maksudkan dengan cinta karena dirinya adalah cinta kepada Allah karena kebaikan dan karunianya di dunia ini,sedangkan cinta kepada-Nya adalah karena ia layak dicintai keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya. Cinta yang kedua merupakan cinta yang palinh luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti disabdakan dalam hadist qusdi. ‘Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh, Aku menyiapkan apa yang tidak terlihat mata,tidak terdengar telinga,dan tidak terbesit di kalbu manusia.’
Cinta Rabi’ah kepada Allah SWT. Begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti terungkap dalam syairnya,
“Kujadikan kau teman berbincang dalam kalbu.
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.”
2)      Ajaran-ajaran Tasawuf Dzu An-Nun Al-Misri
a.       Pengertian makrifat menurut Dzu An-Nun Al-Misri
Al-Misri adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangat tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis Nicholson dan Abd Al-Qadir dalam falsafah Ash-Shufiyyah fi Al-Islam, Al-Misri berhasil memperkenalkan corak baru tentang makrifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan antara”makrifat shufiyyah” dengan “makrifat aqliyah”.
Apabila yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua,menurut Al-Misri,makrifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati) sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori makrifat Al-Misri menyerupai gnosisme ala neoplatonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsure falsafah dalam tasawuf.
Pandangan Al-Misri tentang makrifat pada mulanya sulit diterima kalangan teolog sehingga ia dianggap sebagai seorang zindiq. Oleh karena itu,ia ditangkap khalifah,tetapi akhirnya dibebaskan. Berikut ini beberapa pandangannya tentang hakikat makrifat.
1.      Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nadzar milik para hakim,mutakalimin,dan ahli balaghah,melainkanmakrifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah SWT. Sebab,mereka adalah orang yang menyaksikan Allah SWT dengan hatinya sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
2.      Makrifat yang sebenarnya adalah Allah SWT. Menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni, seperti matahari tidak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba yang senantiasa mendekat kepada Allah SWT. Merasa hilang adirinya,lebur dalam kekuasaannya. Ia merasa sebagai hamba yang berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah SWT. Pada lidah mereka,ia melihat dengan penglihatan Allah SWT dan berbuat dengan  perbuatan Allah SWT.
Kedua pandangan Al- Misri ini menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah SWT. Tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian,tetapi dengan jalan makrifat batin, yaitu Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan,sehingga semua yang ada didunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini,sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya ia menyandang sifat-sifat luhur, seperti yang dimiliki Tuhan sampai akhirnya ia sepenuhnya hidup di dalam-Nya dan melalui dirinya.
Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam,yaitu:
1.      Pengetahuan untuk seluruh muslim
2.      Pengetahuan khusus untuk para filsuf dan ulama
3.      Pengetahuan khusus untuk para wali Allah SWT.
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum dimasukkan  kedalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum disebut ma’rifat, tetapi disebut dengan ilmu, sedangkan pengetahuan jenis ketiga baru disebut dengan ma’rifat. Dari ketiga macam pengetahuan tentang Tuhan tersebut, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliyallah adalah yang paling tinggi tingkatannya karena mereka mencapai tingkatan musyahadah. Para ulama dan filsuf tidak bisa mencapai maqam ini sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan  dan karena akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dalam perjalanan rohani, Al-Misri mempunyai sistematika tertentu tentang jalan menuju tingkat makrifat. Dari teks-teks ajarannya Abdu Al-Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Al-Misri sebagai berikut:
a)      Ketika ditabya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri menjawab, “Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah SWT. Dan tidak ada usaha untuk mengenal-Nya.”
b)      Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al-inabah,harus dimulai dengan meminta dengan cara ikhlas dan benar, dan thariq al-ihtiba tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang. Ini urusan Allah SWT semata.
c)      Disisi lain, Al- Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu darji dan wasil. Darji adalah orang berjalan menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah yang berjalan (melayang) diatas kekuatan makrifat.
Adapun tanda-tanda seseorang arif, menurut Al-Misri adalah sebagai berikut:
a)      Cahaya makrifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya
b)      Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir
c)      Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan.
b.      Pandangan Dzu An-Nun Al-Misri tentang maqamat dan ahwal
Pandangan Al-Misri tentang maqamat adalah pada beberapa hal saja yaitu at-taubah,ash-shabr,at-tawakal dan  ar-rida. Dalam Dairat Al-Ma’rifat Al-Islamiyyat terdapat keterangan berasal dari Al-Misri yang menjelaskan bahwa symbol-simbol zuhud adalah sedikit cita-cita, mencintai kefakiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Kendati demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang disebut Al-Misri lebih sedikit dibandingkan dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis sesudahnya.
Menurut Al-Misri, ada dua macam tobat yaitu tobat awam dan tobat khawas. Orang awam berobat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap dosa oleh al-muqarrabin. Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang menyatakan bahwa tobat adalah “engkau melupakan dosamu”
Al-Misri membagi tobat menjadi tiga tingkatan ,yaitu:
1.      Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya
2.      Orang yang bertobat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan
3.      Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Keterangan  Al-Misri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog dari sebuah riwayah. Suatu ketika ia menjenguk orang yang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Misri berkata,”Tidak termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan.”
Berkenaan dengan maqam at-tawakkal,Al-Misri mendenifisikannya berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Disertai perasaan tidak memiliki kekuatan. Hilangnya daya dan kekuatan seolah-olah mengandung arti pasif atau “mati” Ungkapan seperti ini dikemukakan oleh Abu Ya’qub An-Nahrujuri bahwa at-tawakkal adalah kematian jiwa tatkala ia kehilangan peluang baik menyangkut urusan dunia atau akhirat.
Ketika ditanya tentang ar-ridha adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Al-Qannad bahwa ar-ridha adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua pendapat ini pada dasarnya menunjukkan makna yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada pemilihan kata. Al-Misri memilih kata surur al-qalb untuk ketenangan hati, sedangkan Al-Qannad memilih kata sukun al-qalb.
Berkenaan dengan ahwal, Al-Misri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai urutan pertama dari keempat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab,tanda-tanda orang-orang yang mencintai Allah SWT. Adalah mengikuti kekasih-Nya, yaitu Nabi Muhammad SAW dalam hal akhlak,perbuatan, segala perintah, dan sunnahnya artinya orang-orang yang mencintai Allah SWT. Senantiasa mengikuti sunnah Rasul tidak mengabaikan syariat. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jauh tentang mahabbah, yaitu rida terhadap hal-hal yang tidak disenangi, berprasangka baik terhadap sesuatu yang belum diketahui.
3)      Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’  dari segi bahasa, fana’  berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf  fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar Al-Kalabadzi (w.378 H/988 M) mendenifisikan, “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.”
Adapunn baqa berasal dari kata baqiya ,dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf baqa berarti mendirikkan sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT. Paham baqa tidak dapat dipisahkan dengan fahan fana. Keduanya merupakan paham yang berpasangan. Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana dan baqa. Akan tetapi ,dalam lineatur klasik,pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan.
Dalam tahapan itjihat,seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu,baik subtansi maupun perbuatannya. Dalam paparan Harun Nasution, ittihad adalah satu tingkatan seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan ketika yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah stu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata,’ Hai aku”. Dengan mengutip A.R. Al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang  ittihad dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai, atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Syatahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihat. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid.
4)      Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
Diantara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham witdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibnu Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul).
Kata  al-hulul berdasarkan pengertian bahasa berarti menempati suatu tempat. Aadapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.
Pada ayat diatas, Allah SWT member perintah kepada malaikatuntuk sujud kepada adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah SWT, Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri adam sebenarnya ada unsure ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadi mahluk, Tuhan melihat Dzat-Nya dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya, cinta yang dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana, atau menurut ungkapannya sekadar terlebarnya nasut dalam lahut atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan seperti dalam syairnya, air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur.














BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Para tokoh yang termasuk tasawuf irfani, di antaranya Rabi’ah Al-Adawiyah yang tercatat dalam perkembangan mistisime Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabah) kepada Allah SAW. Dzu An-Nun Al-Misri yang terkenal sebagai pelopor paham ma’rifat. Abu Yazid Al-Bustami yang ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. Abu Manshur Al-Hallaj, yang ajaran tasawufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian ,melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibnu Arabi.












DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung. CV Pustaka Setia. 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar