Selasa, 13 September 2016

ZUHUD










BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Akhlak tasawuf adalah merupakan salah satu khazanah inelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Secara hakiki, ajaran tasawuf (mistik) yang dianut umat islam mempunyai pandangan yang bercorak panteistis. Teori- teori yang diajarkan oleh berbagai macam aliran tasawuf. Kemudian ajaran tasawuf ini berbicar tentang Tuhan, alam semesta, manusia, potensi manusia, dan ketentuan- ketantuan ajaran Islam lainya maka berbagai metode dalam tasawuf akan membahas tentang: Zuhud, Baiat dan ketaatan mutlak, Wisalah dan Rabithah, Uzlah dan Khalawat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pembahasan tentang Zuhud dalam metode tasawuf ?
2.      Apa pembahasan tentang baiat dan ketaatan mutlak dalam metode tasawuf?
3.      Apa pembahasan tentang wasilah dan rabithah?
4.      Apa pembahasan tentang uzlah dan khawalat?

C.    Tujuan
1.      Agar mahasiswa dapat mengetahui pengrtian dari zuhud, ketaatan mutlak, wasilah, rabithah, uzlah dan khawalat
2.      Agar mahasiswa mampu menjelaskan metode dalam tasawuf yang membahas tentang zuhud, baiat, ketaatan mutlak, wasilah, rabithah, uzlah dan khawalat.
3.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf,dengan dosen pengampu Drs. A. Sulaeman, M.S.I.










BAB II
PEMBAHASAN


A.     ZUHUD
Hasan Bashir (632-712) dianggap oleh golongan sufi sebagai orang pertama yang membicarakan dan mengajarkan tentang tasawuf. Butir-butir ajarannya antara lain sebagai berikut:
(a)   Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati yang tentram labih baik daripada perasaan tenterammu, yang kemudian menimbulkan takut.
(b)   Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa yang bertemu dengan dunia dengan rasa benci kepadanya atau zuhud, akan berbahagia dia dan beroleh faedah dalam persahabatan itu. Tetapi barangsiapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu dan perasaanya tersangkut kepadanya, akhirnya dia akan sengsara. Dia akan terbawa kepada suatu masa yang tidak dapat tertahankan deritanya.
(c)   Tafakur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat membawa kepada meninggalkan kejahatan itu. Barang yang fana walau bagaimanapun banyaknya, tidaklah dapat menyamai barang yang baqa (kekal), walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari dunia yang cepat datang dan cepat pergi ini dan yang penuh dengan tipuan.
(d)  Dunia ini bagaikan seorang janda tua yang telah bungkuk dan telah banyak bergaul dengan laki-laki.
(e)   Orang yang beriman berduka cita pada pagi hari dan berduka cita pada waktu sorenya, karena ia hidup diantara dua ketakutan. Takut mengenang dosa yang telah lampau, apakah gerangan azab balasan yang akan ditimpakan Tuhan kepadanya. Dan takut memikirkan ajal yang masih tinggi, karena tahu bahaya yang mengancamnya.
(f)    Patutlah orang insafi bahwa mati sedang mengancamnya.
(g)   Banyak dua cita didunia akan memperteguh semangat amal saleh.

Kemudian Abdul Qadir Jailani, tokoh sufi dan tarekat dari Bagdad, yang dianggap oleh para pengikutnya telah menjadi seorang wali Allah, berkenaan dengan masalah zuhud ini, ia bertutur sebagai berikut: “Bila kau melihat dunia ini berada di tangan mereka dengan segala hiasan dan tipuannya, dengan seala biasa yang mematikannya, yang tampak lembut sentuhannya, padahal sebenarnya mematikan bagi yang menyentuhnya, mengecoh mereka, dan membuat mereka mengabaikan kemudaratan tipu dayanya dan janji-janji palsunya bila kau lihat semua ini berlakulah bagi orang yang melihat seseorang menuruti nalurinya, menonjolkan diri, dan karenanya mengeluarkan bau busuk. Bila (dalam situasi semacam itu) kau enggan memperhatikan kebusukannya, dan menutup hidung dari bau busuk itu, begitu pula berlaku terhadap dunia. Bila kau melihatnya, palingkan penglihatanmu dari segala kepalsuan, dan tutuplah hidungmu dari segala kebusukan hawa nafsu, agar kau aman daripadanya dan dari segala tipudayanya, sedang  bagianmu menghampiri segeramu, dan kau menikmatinya. Allah berfirman di dalam surat 20 (Thaha:131). Yang artinya;
“Dan janganlah kamu tunjukan kedua matamu kepada yang telah kami berikan kepada yang telah kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, untuk kami uji mereka dengannya, dan karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.”
Tetapi tokoh sufi yang berbicara tentang zuhud (benci kepada dunia) secara panjang lebar tidak lain ialah al- Ghazali. Ia mengatakan secara keseluruhan berarti benci kepada yang disukai dan brerpaling kepada yang lebih disukai. Orang yang tidak menginginkan kepada sesuatu selain Allah SWT hingga surga sekalipun diabaikannya, maka orang semacam inilah yang disebut zuhud mutlak. Maka seperti itulah zuhud, yang mengharuskan agar meninggalkan segala yang dizuhudkan secara keseluruhan, yaitu dunia dengan segala isinya, serta sebab-sebabnya, pendahulu- pendahulunya dan hubungan- hubungannya. Dengan demikian keluarlah dari hati rasa baenci kepada dunia, lalu disusul dengan cinta kepada ketaatan terhadap allah. Mata dan tangan serta seluruh anggota tubuh mengikuti sikap hati, sehingga seluruhnya berbuat untuk taat kepada Tuhan. Tidak ada kegiatan yang dilakukanya, kecuali untuk taat kepada-Nya.
Berdasarkan pengertian dari para ulama dan cendekiawan muslim sebagaimana diungkapkan sebelumnya, ternyata teori zuhud, membenci segala yang bersifat duniawi, yang dianut oleh kaum sufi, secara prinsipil bertentangan secara diametral dengan ajaran Islam.

B.     BAIAT DAN KETAATAN MUTLAK
Pemimpin mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu aliran tasawuf  atau tarekat. Ia tidak saja merupakan seorang pemimpin  yang mengawasi pengikut-pengikutnya dalam kehidupan lahir dan pergaulan sehari-hari agar tetap berada di dalam garis-garis ajaran tasawuf tetapi juga merupakan pemimpin kerohanian  yang tinggi sekali kedudukannya. Ia merupakan “perantara dalam ibadah antara murid dengan Tuhan” (wasilah).
Bermacam-macam julukan di berikan kepada sang pemimpin tasawuf ini,seperti :
1.      Nusaak(orang yang mengerjakan semua amal dan perintah agama)
2.      ‘Ubaad (orang yang ahli dalam ibadah)
3.      Mursyid (orang yang mengajar dan memberi contoh kepada murid-muridnya)
4.      Imam (pemimpin tidak saja dalam bentuk ibadah tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari)
5.      Syekh (pemimpin dari suatu aliran tasawuf/tarekat), dan
6.      Sadah (penghulu atau orang yang dihormati dan diberi kekuasaan penuh)
Para pengikut (murid) dengan pemimpinnya (syekh atau mursyid) dalam suatu aliran tasawuf (tarekat), dapat kita salinkan ketentuan-ketentuan penting tentang adab para pengikut dengan pemimpinnya sbb :
a)      Murid harus menghormati syekhnya lahir dan batin
b)      Menyerahkan diri, tunduk, dan rela kepada syekh, berkhidmat kepadanya dengan harta dan dengan diri
c)      Jangan menentang atau menyangkal sesuatu yang diperbuat oleh syekhnya, dan jangan ditanyakan mengapa ia melakukan suatu perbuatan
d)     Jangan ada motivasi untuk memperoleh sesuatu ketika berkumpul bersama syekh, selain dari taqarub, mendekatkan diri kepada Allah
e)      Menanggalkan segala usaha pribadi murid dan menyatukannya ke dalam usaha syekh, dalam segala urusan, baik ibadat maupun adat kebiasaan
f)       Jangan mencari-cari atau mengintip-intip kesalahan syekh
g)      Menjaga syekh pada waktu ia tidak ada di tempat, sebagaimana ia menjaganya ketika ia berada di tempat
h)      Seorang murid harus memandang bahwa semua keberkahan yang diperolehnya baik di dunia maupun di akhirat adalah berkat syekhnya
i)        Tidak boleh menyembunyikan perolehan dan perasaan kepada syekh, seperti getaran qalbu, lintasan hati, peristiwa-peristiwa ajaib, tersingkap hijab, kejadian luarbiasa (keramat) yang dikaruniai Allah kepadanya
j)        Tidak terburu-buru mena’birkan peristiwa yang di alami dalam mimpi dan pandangan-pandangan tembus
k)      Jangan dia menyebarkan sesuatu rahasia kepada syekhnya walaupun sudah disiarkan orang dengan berbagai cara dan penyiaran
l)        Tidak boleh mengawini seorang wanita yang syekhnya cenderung hendak mengawininya, dan tidak pula boleh mengawini janda syekh, baik bercerai secara talak maupun bercerai mati
m)    Tidak boleh dia member isyarat sebagai pernyataan pendapat, apabila diikutsertakan dalam permusyawaratan, baik tentang melaksanakan sesuatu atau meninggalkannya
n)      Hendaklah ia menjaga keluarga syekh manakala syekh tidak ada di tempat, karena penjagaan terhadap keluarga yang ditinggalkannya itu akan menimbulkan kecenderungan hatinya kepada murid yang menjaganya
o)      Menghargai dan menjaga dengan cermat segala sesuatu pemberian syekh, dan jangan menjualnya kepada orang lain
p)      Harus menaati penuh setiap tuntutan dari syekh
q)      Kepercayaan kepada syekh jangan berkurang apabila melihatnya banyak tidur waktu sahur, atau sedikit wara’nya, atau perbuatan-perbuatan lainnya yang merendahkan martabatnya
r)       Tidak boleh banyak bicara di hadapan syekh walaupun diberi kesempatan olehnya
s)       Jangan duduk di atas sajadah syekh, tetapi hendaklah ia duduk di depannya dengan tawadhu’ dan merasa diri kecil dan siap untuk melayani
t)       Hendaklah murid segera melaksanakan apa saja yang diperintahkan syekh tanpa menunggu waktu dan istirahat, serta tidak berhenti sebelum perintah itu selesai dikerjakan dengan sempurna
u)      Menjauhkan diri dari sesuatu yang dibenci syekh
v)      Jangan ia melakukan suatu pekerjaan atau menikah kecuali dengan izin syekh
w)    Jangan mengutip ucapan syekh di depan orang banyak, kecuali sesuai dengan tingkat kecerdasan mereka
Peristiwa baiat yang dilakukan terhadap Khalifah Abu Bakar ini antara lain :
1.      Baiat itu dilakukan oleh umat Islam terhadap kepala negaranya, dan bukan kepala Negara berbaiat kepada rakyat, bukan pula kepala Negara membaiat rakyatnya sebagai tanda bahwa rakyat telah menjadi warga Negara Islam.
2.      Baiat kesetiaan umat Islam kepada kepala negaranya akan berlaku, artinya mempunyai kekuatan hukum, selama kepala Negara konsisten melaksanakan ketentuan-ketentuan syariat Islam, baik yang tertuang di dalam Al-Qur’an maupun al-hadits. Para ahli hokum mazhab Hanafi berpendapat bahwa baiat yang mempunyai kekuatan syar’I adalah baiat yang dilakukukan oleh umat Islam terhadap amirul mukminin (khalifah), dan pada setiap Negara hanya berlaku untuk seseorang.
3.      Ketaatan mutlak seorang murid (pengikut) terhadap syekhnya (pemimpinnya) sehingga apabila seorang syekh telah memerintahkan kepada murid-muridnya untuk melakukan perbuatan yang haram sekalipun, murid-murid tersebut harus menjalankannya.

Ketentuan semacam ini di dalam kehidupan tarekat (tasawuf) merupakan syarat mutlak yang wajib berlaku. Padahal peraturan seperti ini bertentangan dengan syariat Islam secara mutlak, baik diatur oleh sunnah Nabi saw, maupun ijma para ahli hukum Islam.
Dalam beberapa hadits sahih, Rasulloh saw telah bersabda :
a)      “Tidak boleh taat kepada mahluk dalam hal yang menyalahi ketentuan-ketentuan Allah”.
b)     “Taatituhanya dalam hal-hal yang ma’rufat (baik menurut Islam)”.
c)      “Barangsiapa di antara kamu diperintahkan untuk melakukan maksiat, maka tidakboleh di dengar dan ditaati”.
d)     “Mendengarkan dan menaati adalah
e)       wajib bagi manusia dalam hal-hal yang ia sukai dan juga dalam hal-hal yang tidak ia sukainya, kecuali bila ia diperintah untuk melakukan hal-hal yang maksiat, maka tidak boleh didengarkan dan tidak boleh ditaati”.
f)      Sesudahku nanti akan memerintah masalah-masalah kehidupanmu seorang laki-laki yang akan memadamkan cahaya sunnah, dan mengada-adakan bid’ah, serta melalaikan sholat dari waktunya, “Ibnu Mas’ud berkata, “Ya Rasululloh, bagaimana saya nanti bila menjumpai mereka?” Nabi menjawab, “Tidak seorang pun dari hamba Allah yang boleh taat kepada orang-orang yang mendurhakai Allah.” Ucapan ini diulang oleh Rosululloh sampai tiga kali.

C.     Wasilah dan Rabithah
Pengertian Wasilah menurut bahasa ialah sesuatu yang dapat mendekatkan kepada yang lain, demikian al-jauhir dalam sahihnya. Sementara dalam kamus al-wasilah atau al-waasilah yaitu suatu kedudukan disisi raja.Kemudian dalam al-mishbah, dinyatakan saya suka dan saya mendekatkan diri. Ibnu Katsir dalam tafsirnya (jilid 11, hlm. 52-53) menyatakan “wasilah ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud”. Dalam kamus al-munjid (hlm. 900) dinyatakan “sesuatu yang didekatkan kepada yang lain”.
Menurut hukum islam, wasilah atau tawasul ialah pendekatan kepada Allah dengan menaati dan beribadah kepada-Nya, mengikuti para nabi dan rosul-Nya, dengan semua amal yang dikasihi dan diridhai-Nya.
Wasilah terbagi dua, yaitu wasilah yang disyariatkan (masyru’) dan wasilah yang dilarang (mamnu’).Wasilah yang disyariatkan adalah setiap wasilah yang diperintahkan Allah dan mendorong kita untuk melaksanakannya.
Wasilah yang disyariatkan itu terbagi pula kepada tiga,yaitu :
(a)    Wasilah seorang mukmin kepada Allah dengan zat-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
(b)   Wasilah seorang mukmin kepada Allah dengan amal-amal saleh-Nya.
(c)    Wasilah seorang mukmin kepada Allah dengan doa saudaranya yang mukmin.
Dasar hukum tentang wasilah tertuang dalam surat 5 (al-maidah:35): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Para mufasir mengartikan pengertian “wasilah” pada ayat tersebut seperti berikut :
(a)    Tafsir al-Khazin, jilid 11 halm. 47: “carilah (tuntutlah) ‘pendekatan’ kepada-Nya dengan mematuhi dan mengamalkan sesuatu yang diridhai-Nya
(b)   Tafsir Ibnu Katsir, jilit 11 halm. 52-53: “kata sufyan ats-Tsauri dari Thalhah. Dari Atha’ dan dari Ibnu Abbas, maksud wasilah adalah pendekatan. Pendekatan ini diperkuat oleh Mujahid, Abu wa’il, al-hasan, Qatadah, Abduloh bin Katsir, as-suda, dan Ibnu Zaid
(c)    Tafsir FI Zhilalil-Qur’an karya Sayid Quthb, jilid V1, halm 146: “menurut satu riwayat dari Ibnu Abbas, ‘ibtaghu ilaihil-wasilah’ berarti ‘ibtaghu ilaihil-hajah’,artinya carilah hajat kepada-Nya. Al-wasilah dalam ayat ini bermakna al-hajah (keperluan)
(d)   Ar-raghib dalam kamus Qur’annya,Mufradatul-Qur’an:”hakikat wasilah kepada Allah ialah memelihara jalan-Nya dengan ilmu dan ibadah”
(e)    Kamus Lisanul-Arab: “si fulan berwasilah kepada Allah, artinya apabila dia melakukan amal perbuatan yang mendekatkan diri kepada-Nya”
(f)    Tafsir Al-Futuhatul-Ilahiyah, jilid 1, halm 488: “sesuatu yang mendekatkan kamu kepada-Nya,dengan menaati-Nya.
Rabithah sebagai perantara antara sufi dengan Tuhan ialah menghadirkan rupa syekh (pemimpin tasawuf) ketika berzikir atau berdoa.

Menurut syekh Muhammad bin Abdullah al-khani al-khalidi dalam bukunya al-Bahjatus –saniah (hlm. 43), menghadirkan dengan 6 cara :
a)      Menghadirkannya didepan mata dengan sempurna.
b)      Membayangkannya di kiri dan kanan, dengan memusatkan perhatian kepada rohaninya sampai terjadi sesuatu yang gaib.
c)      Mengkhayalkan rupa guru di tengah-tengah dahi.
d)     Menghadirkan rupa guru di tengah-tengah hati.
e)      Mengkhayalkan rupa guru dikening, kemudian menurunkannya ketengah hati.
f)       Menafikan dirinya dan mentsabilkan (menetapkan) keberadaan syekh.
Adapun kaifiat rabithah kepada orang yang sudah mati, murid harus melepaskan dirinya dari kaitan unsur dan keterkaitan alam. Dia telanjangi hatinya dari aneka ragam ilmu, ukiran,dan lintasan duniawi, sehingga bersih dan cahaya yang memancar dating. Lalu cahaya yang bersinar dalam kalbunya itu berhubungan dengan rohaniah mayat, sampai dia merasakan sesuatu limpahan darinya, dan limpahan mayat itu beraneka ragam.
Jika murid melakukan rabithah kepada mayat di sisi kuburannya, maka ia harus terlebih dahulu memberi salam, kemudian tegak berdiri dekat kakinya dengan meletakkan tangan kanan atas tangan kiri di atas pusat dan menundukkan kepala, seraya membaca al-fatihah sekali dan surat al-ikhlas 11 kali, ayat kursi sekali, dan menghadihahkan pahala bacaan itu kepada mayat. Kemudian duduk di sampingnya dengan memusatkan perhatian kepada rohaniah mayat, sambil mengharapkan limpahannya.
Sabdah Rosulullah saw :
“apabila kamu merasa heran dalam berbagai perkara, maka mintalah pertolongan kepada ahli kubur.” Barang siapa yang ber-tawajjuh (menghadapkan pandangan hatinya) kepada rohaniah Rosulullah saw. Di kuburannya yang berada di madinah, niscaya dia peroleh limpahan darinya.
Barang siapa berhubungan terus menerus dengan rabithah, niscaya terjadilah atas dirinya peristiwa-peristiwa tasawuf dan kesempurnaan hakikat. Tetapi sebaliknya barang siapa tidak melakukan rabithah, niscaya terputus limpahannya dan tidak akan mengalami peristiwa-peristiwa suluk dan tidak akan muncul rahasia kebesaran Allah kepadanya.
Penafsiran kata “wasilah” dengan rabithah bertentangan dengan ajaran tauhid, yang mengajarkan dalam berdoa, berzikir, dan beribadah haruslah iklas (murni) hanya untuk Allah, langsung dan tidak boleh memakai perantara, apapun bentuk perantara itu. Perhatikan firman Allah swt :

a)      Dalam surat 98 (al-bayyinah:5): “padahal mereka tidak di suruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supay mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.
b)      Dalam surat 28 (al-Qashash : 88): “janganlah kamu sembah disamping (menyembah) Allah, Tuhan apa pun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap suatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.
c)      Dalam surat 35 (al-fathir :14): “jika kamu menyeru mereka, mereka tidak mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepada mu sebagai yang diberikan oleh yang Maha mengetahui”.
Kemudian, mengenai hadits yang berbunyi: “apabila kamu merasa heran dalam berbagai perkara, maka minta pertolonganlah kepada ahli kubur”, yang dijadikan dasar pembenaran praktik rabithah yang termuat dalam buku Tsabitul-Qulub, pedoman aliran tasawuf/tarekat samaniah adalah palsu. Hadits semacam ini juga terdapat dalam buku Sunnan wal-Mubtadaat, karangan Muhammad Abdus Salam Khidir asy-Syaqri, dengan matan yang agak berbeda : lafazh takhayyartum diganti dengan u’itukumdengan arti yang sama, juga dinyatakan sebagai hadits palsu.
Akhirnya, kita akan salinkan beberapa doa para nabi, sebagai bukti tidak ada diantara mereka yang menggunakan wasilah antara mereka dengan Allah swt :
1)      Nabi Nuh a.s, termuat dalam surat 71 (Nuh: 28): “Ya Tuhan kami, Ampunilah aku, ibu-bapakku, orang-orang yang masuk kerumahku dengan beriman dan semua orang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan”.
2)      Nabi Ibrahim a.s, termuat dalam surat 14 (Ibrahim : 41): “Ya Tuhan kami, berilah ampun kepadaku dan kepada kedua ibu-bapakkudan sekalian orang-orang yang beriman pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”.
3)      Nabi Adam a.s, termuat dalam surat 7 (al-A’raf: 23): “keduanya telah berdoa: ‘ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”.
4)      Nabi Ayub a.s, termuat dalam surat 21 (al-Anbiya: 83): “dan (ingatlah) kisah Ayub, ketika ia bedoa kepada Tuhannya: “ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang diantara semua yang penyayang”.
5)      Nabi Yunus a.s, termuat dalam surat 21 (al-Anbiya: 87): “Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia berdoa dalam tempat yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. Maka kami telah memperkanankan doanya dan menyelamatkan daripada keduanya. Dan demikianlah kami menyelamatkan orang-orang yang beriman”.
6)      Nabi Zakaria a.s, termuat dalam surat 21 (al-Anbiya: 89-90): “Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia mendoa kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri, dan Engkau pewaris yang paling baik.’ Maka kami memperkanankan doanya, dan kami anugerahkan kepada Yahya dan kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada kami”.
7)      Nabi Yusuf a.s, tertuang dalam surat 12 (Yusuf:101): “Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhanku), pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku didunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh”.
8)      Rosulullah saw, di antara doa permohonan ampun yang utama yang paling terkenal dan termuat didalam kitab sunnah,yaitu: “Ya Allah, sesungguhnya kami berdoa kepada-Mu sebagaimana telah Engkau perintahkan kepada kami, maka kabulkanlah permohonan kami, sebagaimana yang Engkau telah janjikan kepada kami. Ya Allah, berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu dalam melakukan kedurhakaan di antara kami, dan dari ketaatan kami kepada-Mu sehingga kami mendapatkan surge-Mu, dan sesuatu keyakinan yang dapat mempermudah kami menghindari diri bencana dunia. Ya Allah, gembirakanlah kami dengan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan tentang sesuatu yang Engkau telah menghidupkan kami, dan jadikanlah semua itu warisan buat kami….”

D.    Uzlah dan Khalwat
Al-Ghazali menjelaskan pengertian uzlah dan khalwat dalam bukunya ilya’ Ulmmuddin, antara lain ialah memusatkan  diri untuk ibadah, bertafakur, dan merasakan kejinakan hati dengan bermunajat kepada Allah SWT dan menghindarkan diri dari berbicara dan bergaul dengan makhluk. Menggunakan waktu dengan menyingkapkan segala rahasia yang dijadikan (sir) oleh Allah, baik tentang masalah langit dan bumi, akhirat maupun alam malakut. Hal yang demikian itu tidak dapat dilakukan tanpa memisahkan hati dari kesibukan sehari-hari, dari bercampur baur dengan masyarakat, itulah yang dinamakan uzlah.
Oleh karena itu, sebagian hukuma (para ahli hikmah) berkata: “Tiada bertekunlah seseorang dalam khilwahnya, kecuali dengan berpegang teguh dengan kitab Allah.
Untuk itulah, bagi orang pada umumnya lebih baik mempergunakan uzlah untuk berzikir dan bercakap-cakap dengan Allah. Para hukama menyatakan bahwa mereka memilih khalwat dan uzlah untuk memusatkan pemkiran dan ilmu dalam hati, sehingga meraskaan kemanisan makrifat kepada Allah.
Tujuan berkhalwat adalah untuk beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah. Firman Allah SWT:
“…..Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (al-Kahfi: 110)
Berkhalwat menurut cara-cara tertentu, menurut golongan tasawuf adalah termasuk amal saleh.
Uzlah dan khalwat secara prinsip bertentangan dengan esensi ajaran Islam, karena khalwat disini hanyalah tafsiran golongan sufi. Padalah menurut para ahli hadist, Khalwat memiliki pengertian “berzikir jauh dari orang ramai” atau ada juga yang mengartikan ‘sunyi dari perhatian selain kepada Allah, meskipun berzikir itu dilakukan ditempat ramai”. Berkaitan dengan hal ini Mohammad Natsir berpendapat bahwa seseorang tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Perikehidupan manusia hanya dapat berkembang maju dalam kehidupan bermasyarakat. Perjalinan antara hablum-minallah dan hablum minan-nas dalam risalah Muhammad saw bertambah jelas pula oleh suatu ketentuan agama islam bahwa sesutu amal berbuatan, besar ataupun kecil, dibidang apapun, dinilai sesuatu dengan niat atau motivasi yang terkandunng dalam hati yang melakukannya.
Untuk memperkokoh kehidupan bermasyarakat, islam memerintahkan agar umatnya bersatu padu, jangan ada yang hidup menyendiri(beruzlah).Dalam hal ini islam mengancam orang yang hidup menyendiri (beruzlah) akan dimasukkan ke dalam neraka. Sabda Rasululloh saw: “Bantuan Allah selalu bersama jamaah, siapa yang menyendiri, dia akan sendirian di neraka.”(al-hadist) Kehidupan berjamaah dan bermasyarakat merupakan salah satu pintu rahmat, dan perpecahan adalah jalan terbukannya azab. Dan apabila hidup berjamaah adalah merupakan potensi untuk menjaga agama Allah dan untuk memelihara keselamatan dan kesejahteraan kaum muslim, maka perpecahan merupakan sebab utama yang dapat melenyapkan agama Allah dan menghancurkan masyarakat Islam. Oleh sebab itu Islam melarang perpecahan, baik secara kelompok maupun secara individual, seperti uzlah atau mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat Islam.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setelah mempelajari dan melihat pembahasan yang telah dijabarkan diatas, dapat kami simpulkan diantaranya:
1.      Zuhud berarti benci kepada yang disukai dan berpaling kepada yang lebih disukai.
2.      Baiat dan Ketaatan Mutlak merupakan syarat yang harus berlaku di dalam setiap aliran tasawuf.
3.      Wasilah ialah sesuatu yang dapat mendekatkan kepada yang lain,
Rabithah sebagai perantara antara sufi dengan Tuhan ialah menghadirkan rupa syekh(pemimpin tasawuf) ketika berzikir atau berdoa.
4.      Uzlah dan Khalwat ialah memusatkan diri untuk beribadah, bertafakur, dan merasakan kejinakan hati dengan bermunajat kepada Allah swt dan menghindarkan diri dari berbicara dan bergaul dengan makhluk.
Tapi itu semua tidak terlepas dari sudut pandang islam yang mengatakan bahwa penjelasan diatas secara prinsip bertentangan dengan esensi ajaran Islam.

B.     Saran
Dengan segala kekurangan kami meminta maaf kepada Bapak dosen pembimbing mata kuliah Akhlak Tasawuf karena keterbatasan waktu yang diberikan makalah ini masih banyak sekali kekurangannya. Semoga dengan disusunnya makalah ini bisa menambah manfaat bagi kami. Terima kasih. Wassalamualaikum Wr.Wb
           


DAFTAR PUSTAKA

Qadir Djaelani, Abdul.1996.Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf.Jakarta: Gema Insani Press
Nata,Abuddin.2010.Akhlak Tasawuf.Jakarta:Rajawali Pers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar