BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akhlak tasawuf
adalah merupakan salah satu khazanah inelektual Muslim yang kehadirannya hingga
saat ini semakin dirasakan. Secara hakiki, ajaran tasawuf (mistik) yang dianut
umat islam mempunyai pandangan yang bercorak panteistis. Teori- teori yang
diajarkan oleh berbagai macam aliran tasawuf. Kemudian ajaran tasawuf ini
berbicar tentang Tuhan, alam semesta, manusia, potensi manusia, dan ketentuan-
ketantuan ajaran Islam lainya maka berbagai metode dalam tasawuf akan membahas
tentang: Zuhud, Baiat dan ketaatan mutlak, Wisalah dan Rabithah, Uzlah dan
Khalawat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pembahasan
tentang Zuhud dalam metode tasawuf ?
2.
Apa pembahasan tentang
baiat dan ketaatan mutlak dalam metode tasawuf?
3.
Apa pembahasan
tentang wasilah dan rabithah?
4.
Apa pembahasan
tentang uzlah dan khawalat?
C.
Tujuan
1.
Agar mahasiswa
dapat mengetahui pengrtian dari zuhud, ketaatan mutlak, wasilah, rabithah, uzlah
dan khawalat
2.
Agar mahasiswa
mampu menjelaskan metode dalam tasawuf yang membahas tentang zuhud, baiat,
ketaatan mutlak, wasilah, rabithah, uzlah dan khawalat.
3.
Untuk memenuhi
tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf,dengan dosen pengampu Drs. A. Sulaeman, M.S.I.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ZUHUD
Hasan Bashir (632-712)
dianggap oleh golongan sufi sebagai orang pertama yang membicarakan dan
mengajarkan tentang tasawuf. Butir-butir ajarannya antara lain sebagai berikut:
(a)
Perasaan
takutmu sehingga bertemu dengan hati yang tentram labih baik daripada perasaan
tenterammu, yang kemudian menimbulkan takut.
(b)
Dunia adalah
negeri tempat beramal. Barang siapa yang bertemu dengan dunia dengan rasa benci
kepadanya atau zuhud, akan berbahagia dia dan beroleh faedah dalam persahabatan
itu. Tetapi barangsiapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu dan
perasaanya tersangkut kepadanya, akhirnya dia akan sengsara. Dia akan terbawa
kepada suatu masa yang tidak dapat tertahankan deritanya.
(c)
Tafakur membawa
kita kepada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat
membawa kepada meninggalkan kejahatan itu. Barang yang fana walau bagaimanapun
banyaknya, tidaklah dapat menyamai barang yang baqa (kekal), walaupun sedikit.
Awasilah dirimu dari dunia yang cepat datang dan cepat pergi ini dan yang penuh
dengan tipuan.
(d)
Dunia ini
bagaikan seorang janda tua yang telah bungkuk dan telah banyak bergaul dengan
laki-laki.
(e)
Orang yang
beriman berduka cita pada pagi hari dan berduka cita pada waktu sorenya, karena
ia hidup diantara dua ketakutan. Takut mengenang dosa yang telah lampau, apakah
gerangan azab balasan yang akan ditimpakan Tuhan kepadanya. Dan takut
memikirkan ajal yang masih tinggi, karena tahu bahaya yang mengancamnya.
(f)
Patutlah orang
insafi bahwa mati sedang mengancamnya.
(g)
Banyak dua cita
didunia akan memperteguh semangat amal saleh.
Kemudian Abdul Qadir Jailani,
tokoh sufi dan tarekat dari Bagdad, yang dianggap oleh para pengikutnya telah
menjadi seorang wali Allah, berkenaan dengan masalah zuhud ini, ia bertutur
sebagai berikut: “Bila kau melihat dunia ini berada di tangan mereka dengan
segala hiasan dan tipuannya, dengan seala biasa yang mematikannya, yang tampak
lembut sentuhannya, padahal sebenarnya mematikan bagi yang menyentuhnya,
mengecoh mereka, dan membuat mereka mengabaikan kemudaratan tipu dayanya dan
janji-janji palsunya bila kau lihat semua ini berlakulah bagi orang yang
melihat seseorang menuruti nalurinya, menonjolkan diri, dan karenanya
mengeluarkan bau busuk. Bila (dalam situasi semacam itu) kau enggan
memperhatikan kebusukannya, dan menutup hidung dari bau busuk itu, begitu pula
berlaku terhadap dunia. Bila kau melihatnya, palingkan penglihatanmu dari segala
kepalsuan, dan tutuplah hidungmu dari segala kebusukan hawa nafsu, agar kau
aman daripadanya dan dari segala tipudayanya, sedang bagianmu menghampiri segeramu, dan kau
menikmatinya. Allah berfirman di dalam surat 20 (Thaha:131). Yang artinya;
“Dan janganlah kamu tunjukan kedua matamu
kepada yang telah kami berikan kepada yang telah kami berikan kepada beberapa
golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, untuk kami uji mereka
dengannya, dan karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.”
Tetapi tokoh sufi yang berbicara tentang zuhud (benci kepada dunia)
secara panjang lebar tidak lain ialah al- Ghazali. Ia mengatakan secara
keseluruhan berarti benci kepada yang disukai dan brerpaling kepada yang lebih
disukai. Orang yang tidak menginginkan kepada sesuatu selain Allah SWT hingga
surga sekalipun diabaikannya, maka orang semacam inilah yang disebut zuhud
mutlak. Maka seperti itulah zuhud, yang mengharuskan agar meninggalkan segala
yang dizuhudkan secara keseluruhan, yaitu dunia dengan segala isinya, serta
sebab-sebabnya, pendahulu- pendahulunya dan hubungan- hubungannya. Dengan
demikian keluarlah dari hati rasa baenci kepada dunia, lalu disusul dengan
cinta kepada ketaatan terhadap allah. Mata dan tangan serta seluruh anggota
tubuh mengikuti sikap hati, sehingga seluruhnya berbuat untuk taat kepada
Tuhan. Tidak ada kegiatan yang dilakukanya, kecuali untuk taat kepada-Nya.
Berdasarkan pengertian dari para ulama dan cendekiawan muslim
sebagaimana diungkapkan sebelumnya, ternyata teori zuhud, membenci segala yang
bersifat duniawi, yang dianut oleh kaum sufi, secara prinsipil bertentangan
secara diametral dengan ajaran Islam.
B.
BAIAT DAN
KETAATAN MUTLAK
Pemimpin mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu aliran
tasawuf atau tarekat. Ia tidak saja merupakan seorang pemimpin yang mengawasi pengikut-pengikutnya dalam kehidupan lahir dan pergaulan sehari-hari
agar tetap berada di dalam garis-garis ajaran tasawuf tetapi juga merupakan pemimpin
kerohanian yang tinggi sekali kedudukannya.
Ia merupakan
“perantara dalam ibadah antara murid dengan Tuhan” (wasilah).
Bermacam-macam julukan di berikan kepada sang pemimpin
tasawuf ini,seperti :
1. Nusaak(orang yang mengerjakan semua amal dan
perintah agama)
2. ‘Ubaad (orang yang ahli dalam ibadah)
3. Mursyid (orang yang mengajar dan memberi contoh kepada murid-muridnya)
4. Imam (pemimpin tidak saja dalam bentuk ibadah
tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari)
5. Syekh (pemimpin dari suatu aliran tasawuf/tarekat),
dan
6. Sadah (penghulu atau orang yang dihormati dan
diberi kekuasaan penuh)
Para pengikut (murid) dengan pemimpinnya
(syekh atau mursyid) dalam suatu aliran tasawuf (tarekat), dapat kita salinkan ketentuan-ketentuan
penting tentang adab para pengikut dengan pemimpinnya sbb :
a) Murid harus menghormati syekhnya lahir dan batin
b) Menyerahkan diri, tunduk, dan rela kepada syekh,
berkhidmat kepadanya dengan harta dan dengan diri
c) Jangan menentang atau menyangkal sesuatu yang diperbuat oleh syekhnya, dan jangan ditanyakan mengapa ia melakukan suatu
perbuatan
d) Jangan ada motivasi untuk memperoleh sesuatu
ketika berkumpul bersama syekh, selain dari taqarub, mendekatkan diri kepada
Allah
e) Menanggalkan segala usaha pribadi murid dan
menyatukannya ke dalam usaha syekh, dalam segala urusan, baik ibadat maupun adat
kebiasaan
f) Jangan mencari-cari atau mengintip-intip kesalahan
syekh
g) Menjaga syekh pada waktu ia tidak ada di
tempat, sebagaimana ia menjaganya ketika ia berada di tempat
h) Seorang murid harus memandang bahwa semua keberkahan
yang diperolehnya baik di dunia maupun di akhirat adalah berkat syekhnya
i)
Tidak boleh menyembunyikan perolehan dan perasaan kepada
syekh, seperti getaran qalbu, lintasan hati, peristiwa-peristiwa ajaib,
tersingkap hijab, kejadian luarbiasa (keramat) yang dikaruniai Allah kepadanya
j)
Tidak terburu-buru mena’birkan peristiwa yang di alami
dalam mimpi dan pandangan-pandangan tembus
k) Jangan dia menyebarkan sesuatu rahasia kepada
syekhnya walaupun sudah disiarkan orang dengan berbagai cara dan penyiaran
l)
Tidak boleh mengawini seorang wanita yang syekhnya cenderung
hendak mengawininya, dan tidak pula boleh mengawini janda syekh, baik bercerai secara
talak maupun bercerai mati
m) Tidak boleh dia member isyarat sebagai pernyataan
pendapat, apabila diikutsertakan dalam permusyawaratan, baik tentang melaksanakan
sesuatu atau meninggalkannya
n) Hendaklah ia menjaga keluarga syekh manakala
syekh tidak ada di tempat, karena penjagaan terhadap keluarga yang
ditinggalkannya itu akan menimbulkan kecenderungan hatinya kepada murid yang menjaganya
o) Menghargai dan menjaga dengan cermat segala
sesuatu pemberian syekh, dan jangan menjualnya kepada orang lain
p) Harus menaati penuh setiap tuntutan dari syekh
q) Kepercayaan kepada syekh jangan berkurang apabila
melihatnya banyak tidur waktu sahur, atau sedikit wara’nya, atau perbuatan-perbuatan
lainnya yang merendahkan martabatnya
r) Tidak boleh banyak bicara di hadapan syekh walaupun
diberi kesempatan olehnya
s) Jangan duduk di atas sajadah syekh, tetapi hendaklah
ia duduk di depannya dengan tawadhu’ dan merasa diri kecil dan siap untuk melayani
t) Hendaklah murid segera melaksanakan apa saja
yang diperintahkan syekh tanpa menunggu waktu dan istirahat, serta tidak berhenti
sebelum perintah itu selesai dikerjakan dengan sempurna
u) Menjauhkan diri dari sesuatu yang dibenci syekh
v) Jangan ia melakukan suatu pekerjaan atau menikah
kecuali dengan izin syekh
w) Jangan mengutip ucapan syekh di depan orang
banyak, kecuali sesuai dengan tingkat kecerdasan mereka
Peristiwa baiat yang dilakukan terhadap Khalifah Abu
Bakar ini antara lain :
1. Baiat itu dilakukan oleh umat Islam terhadap
kepala negaranya, dan bukan kepala Negara berbaiat kepada rakyat, bukan pula
kepala Negara membaiat rakyatnya sebagai tanda bahwa rakyat telah menjadi warga
Negara Islam.
2. Baiat kesetiaan umat Islam kepada kepala negaranya
akan berlaku, artinya mempunyai kekuatan hukum, selama kepala Negara konsisten melaksanakan
ketentuan-ketentuan syariat Islam, baik yang tertuang di dalam Al-Qur’an maupun
al-hadits. Para ahli hokum mazhab Hanafi berpendapat bahwa baiat yang mempunyai
kekuatan syar’I adalah baiat yang dilakukukan oleh umat Islam terhadap amirul mukminin
(khalifah), dan pada setiap Negara hanya berlaku untuk seseorang.
3. Ketaatan mutlak seorang murid (pengikut)
terhadap syekhnya (pemimpinnya) sehingga apabila seorang syekh telah memerintahkan
kepada murid-muridnya untuk melakukan perbuatan yang haram sekalipun,
murid-murid tersebut harus menjalankannya.
Ketentuan semacam ini di dalam kehidupan tarekat
(tasawuf) merupakan syarat mutlak yang wajib berlaku. Padahal peraturan seperti
ini bertentangan dengan syariat Islam secara mutlak, baik diatur oleh sunnah Nabi
saw, maupun ijma para ahli hukum Islam.
Dalam beberapa hadits sahih, Rasulloh saw
telah bersabda :
a) “Tidak boleh taat kepada mahluk dalam hal
yang menyalahi ketentuan-ketentuan Allah”.
b) “Taatituhanya dalam hal-hal yang ma’rufat
(baik menurut Islam)”.
c) “Barangsiapa di antara kamu diperintahkan untuk
melakukan maksiat, maka tidakboleh di dengar dan ditaati”.
d) “Mendengarkan dan menaati adalah
e) wajib
bagi manusia dalam hal-hal yang ia sukai dan juga dalam hal-hal yang tidak ia sukainya,
kecuali bila ia diperintah untuk melakukan hal-hal yang maksiat, maka tidak boleh
didengarkan dan tidak boleh ditaati”.
f) Sesudahku nanti akan memerintah masalah-masalah
kehidupanmu seorang laki-laki yang akan memadamkan cahaya sunnah, dan mengada-adakan
bid’ah, serta melalaikan sholat dari waktunya, “Ibnu Mas’ud berkata, “Ya Rasululloh,
bagaimana saya nanti bila menjumpai mereka?” Nabi menjawab, “Tidak seorang pun
dari hamba Allah yang boleh taat kepada orang-orang yang mendurhakai Allah.” Ucapan
ini diulang oleh Rosululloh sampai tiga kali.
C. Wasilah dan Rabithah
Pengertian Wasilah menurut bahasa ialah
sesuatu yang dapat mendekatkan kepada yang lain, demikian al-jauhir dalam
sahihnya. Sementara dalam kamus al-wasilah atau al-waasilah yaitu
suatu kedudukan disisi raja.Kemudian dalam al-mishbah, dinyatakan saya suka dan
saya mendekatkan diri. Ibnu Katsir dalam tafsirnya (jilid 11, hlm. 52-53)
menyatakan “wasilah ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud”. Dalam kamus
al-munjid (hlm. 900) dinyatakan “sesuatu yang didekatkan kepada yang lain”.
Menurut hukum islam, wasilah atau tawasul
ialah pendekatan kepada Allah dengan menaati dan beribadah kepada-Nya,
mengikuti para nabi dan rosul-Nya, dengan semua amal yang dikasihi dan
diridhai-Nya.
Wasilah terbagi dua, yaitu wasilah yang
disyariatkan (masyru’) dan wasilah yang dilarang (mamnu’).Wasilah yang
disyariatkan adalah setiap wasilah yang diperintahkan Allah dan mendorong kita
untuk melaksanakannya.
Wasilah yang disyariatkan itu terbagi pula
kepada tiga,yaitu :
(a) Wasilah seorang mukmin kepada Allah dengan
zat-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
(b) Wasilah seorang mukmin kepada Allah dengan
amal-amal saleh-Nya.
(c) Wasilah seorang mukmin kepada Allah dengan
doa saudaranya yang mukmin.
Dasar hukum tentang wasilah tertuang dalam
surat 5 (al-maidah:35): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada
jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Para mufasir mengartikan pengertian
“wasilah” pada ayat tersebut seperti berikut :
(a) Tafsir al-Khazin, jilid 11 halm. 47:
“carilah (tuntutlah) ‘pendekatan’ kepada-Nya dengan mematuhi dan mengamalkan
sesuatu yang diridhai-Nya
(b) Tafsir Ibnu Katsir, jilit 11 halm. 52-53:
“kata sufyan ats-Tsauri dari Thalhah. Dari Atha’ dan dari Ibnu Abbas, maksud
wasilah adalah pendekatan. Pendekatan ini diperkuat oleh Mujahid, Abu wa’il,
al-hasan, Qatadah, Abduloh bin Katsir, as-suda, dan Ibnu Zaid
(c) Tafsir FI Zhilalil-Qur’an karya Sayid Quthb,
jilid V1, halm 146: “menurut satu riwayat dari Ibnu Abbas, ‘ibtaghu ilaihil-wasilah’
berarti ‘ibtaghu ilaihil-hajah’,artinya carilah hajat kepada-Nya. Al-wasilah
dalam ayat ini bermakna al-hajah (keperluan)
(d) Ar-raghib dalam kamus
Qur’annya,Mufradatul-Qur’an:”hakikat wasilah kepada Allah ialah memelihara
jalan-Nya dengan ilmu dan ibadah”
(e) Kamus Lisanul-Arab: “si fulan berwasilah
kepada Allah, artinya apabila dia melakukan amal perbuatan yang mendekatkan
diri kepada-Nya”
(f) Tafsir Al-Futuhatul-Ilahiyah, jilid 1, halm
488: “sesuatu yang mendekatkan kamu kepada-Nya,dengan menaati-Nya.
Rabithah sebagai perantara antara sufi
dengan Tuhan ialah menghadirkan rupa syekh (pemimpin tasawuf) ketika berzikir
atau berdoa.
Menurut syekh Muhammad bin Abdullah
al-khani al-khalidi dalam bukunya al-Bahjatus –saniah (hlm. 43), menghadirkan
dengan 6 cara :
a) Menghadirkannya didepan mata dengan
sempurna.
b) Membayangkannya di kiri dan kanan, dengan
memusatkan perhatian kepada rohaninya sampai terjadi sesuatu yang gaib.
c) Mengkhayalkan rupa guru di tengah-tengah
dahi.
d) Menghadirkan rupa guru di tengah-tengah hati.
e) Mengkhayalkan rupa guru dikening, kemudian
menurunkannya ketengah hati.
f) Menafikan dirinya dan mentsabilkan
(menetapkan) keberadaan syekh.
Adapun kaifiat rabithah kepada orang yang
sudah mati, murid harus melepaskan dirinya dari kaitan unsur dan keterkaitan
alam. Dia telanjangi hatinya dari aneka ragam ilmu, ukiran,dan lintasan
duniawi, sehingga bersih dan cahaya yang memancar dating. Lalu cahaya yang
bersinar dalam kalbunya itu berhubungan dengan rohaniah mayat, sampai dia
merasakan sesuatu limpahan darinya, dan limpahan mayat itu beraneka ragam.
Jika murid melakukan rabithah kepada mayat
di sisi kuburannya, maka ia harus terlebih dahulu memberi salam, kemudian tegak
berdiri dekat kakinya dengan meletakkan tangan kanan atas tangan kiri di atas
pusat dan menundukkan kepala, seraya membaca al-fatihah sekali dan surat
al-ikhlas 11 kali, ayat kursi sekali, dan menghadihahkan pahala bacaan itu
kepada mayat. Kemudian duduk di sampingnya dengan memusatkan perhatian kepada
rohaniah mayat, sambil mengharapkan limpahannya.
Sabdah Rosulullah saw :
“apabila kamu merasa heran dalam berbagai
perkara, maka mintalah pertolongan kepada ahli kubur.” Barang siapa yang ber-tawajjuh
(menghadapkan pandangan hatinya) kepada rohaniah Rosulullah saw. Di kuburannya
yang berada di madinah, niscaya dia peroleh limpahan darinya.
Barang siapa berhubungan terus menerus
dengan rabithah, niscaya terjadilah atas dirinya peristiwa-peristiwa tasawuf
dan kesempurnaan hakikat. Tetapi sebaliknya barang siapa tidak melakukan
rabithah, niscaya terputus limpahannya dan tidak akan mengalami peristiwa-peristiwa
suluk dan tidak akan muncul rahasia kebesaran Allah kepadanya.
Penafsiran kata “wasilah” dengan rabithah
bertentangan dengan ajaran tauhid, yang mengajarkan dalam berdoa, berzikir, dan
beribadah haruslah iklas (murni) hanya untuk Allah, langsung dan tidak boleh
memakai perantara, apapun bentuk perantara itu. Perhatikan firman Allah swt :
a) Dalam surat 98 (al-bayyinah:5): “padahal
mereka tidak di suruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supay mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.
b) Dalam surat 28 (al-Qashash : 88):
“janganlah kamu sembah disamping (menyembah) Allah, Tuhan apa pun yang lain.
Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap suatu pasti
binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah
kamu dikembalikan”.
c) Dalam surat 35 (al-fathir :14): “jika kamu
menyeru mereka, mereka tidak mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar,
mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.dan dihari kiamat mereka akan
mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepada mu
sebagai yang diberikan oleh yang Maha mengetahui”.
Kemudian, mengenai hadits yang berbunyi:
“apabila kamu merasa heran dalam berbagai perkara, maka minta pertolonganlah
kepada ahli kubur”, yang dijadikan dasar pembenaran praktik rabithah yang
termuat dalam buku Tsabitul-Qulub, pedoman aliran tasawuf/tarekat
samaniah adalah palsu. Hadits semacam ini juga terdapat dalam buku Sunnan
wal-Mubtadaat, karangan Muhammad Abdus Salam Khidir asy-Syaqri, dengan
matan yang agak berbeda : lafazh takhayyartum diganti dengan u’itukumdengan
arti yang sama, juga dinyatakan sebagai hadits palsu.
Akhirnya, kita akan salinkan beberapa doa
para nabi, sebagai bukti tidak ada diantara mereka yang menggunakan wasilah
antara mereka dengan Allah swt :
1) Nabi Nuh a.s, termuat dalam surat 71 (Nuh:
28): “Ya Tuhan kami, Ampunilah aku, ibu-bapakku, orang-orang yang masuk kerumahku
dengan beriman dan semua orang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah
Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan”.
2) Nabi Ibrahim a.s, termuat dalam surat 14 (Ibrahim
: 41): “Ya Tuhan kami, berilah ampun kepadaku dan kepada kedua ibu-bapakkudan
sekalian orang-orang yang beriman pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”.
3) Nabi Adam a.s, termuat dalam surat 7
(al-A’raf: 23): “keduanya telah berdoa: ‘ya Tuhan kami, kami telah menganiaya
diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat
kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”.
4) Nabi Ayub a.s, termuat dalam surat 21
(al-Anbiya: 83): “dan (ingatlah) kisah Ayub, ketika ia bedoa kepada Tuhannya: “ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang
Maha Penyayang diantara semua yang penyayang”.
5) Nabi Yunus a.s, termuat dalam surat 21
(al-Anbiya: 87): “Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam
keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya
(menyulitkannya), maka ia berdoa dalam tempat yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak
ada Tuhan selain Engkau, Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk
orang-orang yang zalim. Maka kami telah memperkanankan doanya dan menyelamatkan
daripada keduanya. Dan demikianlah kami menyelamatkan orang-orang yang
beriman”.
6) Nabi Zakaria a.s, termuat dalam surat 21
(al-Anbiya: 89-90): “Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia mendoa kepada
Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri, dan
Engkau pewaris yang paling baik.’ Maka kami memperkanankan doanya, dan kami
anugerahkan kepada Yahya dan kami jadikan isterinya dapat mengandung.
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam
(mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami
dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada kami”.
7) Nabi Yusuf a.s, tertuang dalam surat 12
(Yusuf:101): “Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku
sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta’bir mimpi. (Ya
Tuhanku), pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku didunia dan di
akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan
orang-orang yang saleh”.
8) Rosulullah saw, di antara doa permohonan
ampun yang utama yang paling terkenal dan termuat didalam kitab sunnah,yaitu:
“Ya Allah, sesungguhnya kami berdoa kepada-Mu sebagaimana telah Engkau
perintahkan kepada kami, maka kabulkanlah permohonan kami, sebagaimana yang
Engkau telah janjikan kepada kami. Ya Allah, berikanlah kepada kami rasa takut
kepada-Mu dalam melakukan kedurhakaan di antara kami, dan dari ketaatan kami
kepada-Mu sehingga kami mendapatkan surge-Mu, dan sesuatu keyakinan yang dapat
mempermudah kami menghindari diri bencana dunia. Ya Allah, gembirakanlah kami
dengan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan tentang sesuatu yang Engkau telah
menghidupkan kami, dan jadikanlah semua itu warisan buat kami….”
D.
Uzlah dan
Khalwat
Al-Ghazali menjelaskan pengertian uzlah dan khalwat dalam
bukunya ilya’ Ulmmuddin, antara lain ialah memusatkan diri untuk ibadah, bertafakur, dan merasakan
kejinakan hati dengan bermunajat kepada Allah SWT dan menghindarkan diri dari
berbicara dan bergaul dengan makhluk. Menggunakan waktu dengan menyingkapkan segala rahasia
yang dijadikan (sir) oleh Allah, baik tentang masalah langit dan bumi, akhirat
maupun alam malakut. Hal yang demikian itu tidak dapat dilakukan tanpa
memisahkan hati dari kesibukan sehari-hari, dari bercampur baur dengan
masyarakat, itulah yang dinamakan uzlah.
Oleh karena itu, sebagian hukuma (para ahli
hikmah) berkata: “Tiada bertekunlah seseorang dalam khilwahnya, kecuali dengan
berpegang teguh dengan kitab Allah.
Untuk itulah, bagi orang pada umumnya lebih
baik mempergunakan uzlah untuk berzikir dan bercakap-cakap dengan Allah. Para
hukama menyatakan bahwa mereka memilih khalwat dan uzlah untuk memusatkan
pemkiran dan ilmu dalam hati, sehingga meraskaan kemanisan makrifat kepada
Allah.
Tujuan berkhalwat adalah untuk beribadah
guna mendekatkan diri kepada Allah. Firman Allah SWT:
“…..Barang siapa mengharap perjumpaan
dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (al-Kahfi: 110)
Berkhalwat menurut cara-cara tertentu,
menurut golongan tasawuf adalah termasuk amal saleh.
Uzlah dan khalwat secara prinsip
bertentangan dengan esensi ajaran Islam, karena khalwat disini hanyalah
tafsiran golongan sufi. Padalah menurut para ahli hadist, Khalwat memiliki
pengertian “berzikir jauh dari orang ramai” atau ada juga yang mengartikan
‘sunyi dari perhatian selain kepada Allah, meskipun berzikir itu dilakukan
ditempat ramai”. Berkaitan dengan hal ini Mohammad Natsir berpendapat bahwa
seseorang tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Perikehidupan manusia hanya dapat
berkembang maju dalam kehidupan bermasyarakat. Perjalinan antara
hablum-minallah dan hablum minan-nas dalam risalah Muhammad saw bertambah jelas
pula oleh suatu ketentuan agama islam bahwa sesutu amal berbuatan, besar
ataupun kecil, dibidang apapun, dinilai sesuatu dengan niat atau motivasi yang
terkandunng dalam hati yang melakukannya.
Untuk memperkokoh kehidupan bermasyarakat,
islam memerintahkan agar umatnya bersatu padu, jangan ada yang hidup
menyendiri(beruzlah).Dalam hal ini islam mengancam orang yang hidup menyendiri
(beruzlah) akan dimasukkan ke dalam neraka. Sabda Rasululloh saw: “Bantuan
Allah selalu bersama jamaah, siapa yang menyendiri, dia akan sendirian di
neraka.”(al-hadist) Kehidupan berjamaah dan bermasyarakat merupakan salah satu
pintu rahmat, dan perpecahan adalah jalan terbukannya azab. Dan apabila hidup
berjamaah adalah merupakan potensi untuk menjaga agama Allah dan untuk
memelihara keselamatan dan kesejahteraan kaum muslim, maka perpecahan merupakan
sebab utama yang dapat melenyapkan agama Allah dan menghancurkan masyarakat
Islam. Oleh sebab itu Islam melarang perpecahan, baik secara kelompok maupun
secara individual, seperti uzlah atau mengasingkan diri dari kehidupan
masyarakat Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah
mempelajari dan melihat pembahasan yang telah dijabarkan diatas, dapat kami
simpulkan diantaranya:
1. Zuhud berarti benci kepada yang disukai dan
berpaling kepada yang lebih disukai.
2. Baiat dan Ketaatan Mutlak merupakan syarat
yang harus berlaku di dalam setiap aliran tasawuf.
3. Wasilah ialah sesuatu yang dapat
mendekatkan kepada yang lain,
Rabithah sebagai perantara antara sufi
dengan Tuhan ialah menghadirkan rupa syekh(pemimpin tasawuf) ketika berzikir
atau berdoa.
4. Uzlah dan Khalwat ialah memusatkan diri
untuk beribadah, bertafakur, dan merasakan kejinakan hati dengan bermunajat
kepada Allah swt dan menghindarkan diri dari berbicara dan bergaul dengan
makhluk.
Tapi itu semua tidak terlepas dari sudut
pandang islam yang mengatakan bahwa penjelasan diatas secara prinsip
bertentangan dengan esensi ajaran Islam.
B. Saran
Dengan segala kekurangan kami
meminta maaf kepada Bapak dosen pembimbing mata kuliah Akhlak Tasawuf karena keterbatasan waktu yang diberikan makalah ini masih banyak
sekali kekurangannya. Semoga dengan disusunnya makalah ini bisa menambah
manfaat bagi kami. Terima kasih. Wassalamualaikum Wr.Wb
DAFTAR PUSTAKA
Qadir
Djaelani, Abdul.1996.Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf.Jakarta: Gema
Insani Press
Nata,Abuddin.2010.Akhlak
Tasawuf.Jakarta:Rajawali Pers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar