Selasa, 13 September 2016

KERANGKA BERFIKIR IRFANI Dasar-dasar Falsafi Ahwal dan Maqama





KERANGKA BERFIKIR IRFANI
Dasar-dasar Falsafi Ahwal dan Maqama

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tinjauan analisis terhadap tasawuf menunjukkan upaya para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya, memiliki suatu konepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah SWT. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan) dan terakhir denga mengenal (ma’rifat) kepada Allah SWT. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sifat dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat atau jalan dalam menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah SWT. Lingkup perjalanan menuju Allah SWT, untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku dikalangan sufi sering disebut sebagai kerangka ‘irfani.
Perjalanan menuju Allah SWT, merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah SWT. Manusia tidak akan mengetahui banyak Penciptanya selama belum melakukan perjalanan menuju Allah SWT. Walaupun dia adalah aqliyah atau logis-teorotis (al-iman al-aqli an-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman asy syu’uriadz-dzauqi)

B.     Rumusan Masalah
1.      Maqam-maqam dalam tasawuf
2.      Hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan sufi
3.      Metode ‘irfani

C.    Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui dasar-dasar falsafi ahwal dan maqam.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    MAQAM-MAQAM DALAM TASAWUF
Maqam yang dijalani oleh kaum sufi umumnya terdiri atas tobat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal.
1.      Tobat
Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah SWT. Pada tingkat terendah, tobat menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau anggota-anggota badan. Pada tingkat menengah, di samping dosa yang dilakukan jasad, tobat menyangkut pula pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya’. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Adapun pada tingkat terakhir, tobat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah SWT. Tobat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu selain yang dapat memalingkan dari jalan Allah SWT.
2.      Zuhud
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akirat. Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan kerena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah SWT. Orang berada pada tingkat tertinggi ini memandang segala sesuatu, kecuali Allah SWT. Tidak mempunyai arti apa-apa.
3.      Faqr
Faqr dapat berarti sebagai kekurangan harta yang di perlukan seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqr penting di miliki orang yang berjalan menuju Allah SWT. Karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia dekat pada kejahatan dan sekurang-kurangnya membuat jiwa menjadi tertambat pada selain Allah SWT.
4.      Sabar
Sabar, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan Al-Ghazali sebagai kesadaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-bdani) kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek, misalnya untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.


5.      Syukur
Syukur diperlukan karena semua yang kita lakukan dan kita miliki di dunia ini adalah berkat karunia Allah SWT. Allah SWT telah memberikan nikmat kepada kita berupa pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamanan maupun nikmat-nikmat lain yang tidak terhitung jumlahnya.
6.      Rela (ridha)
Ridha berarti menerima dengan rasa puas apa yang dianugrahkan Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah SWT, dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kesempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut. Hanya pada ahli ma’rifat dan mahabbah yang mampu bersikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.
7.      Tawakal
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan dirinya terhadap Allah SWT. Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan tawakal.

B.     HAL-HAL YANG DI JUMPAI DALAM PERJALANAN SUFI
Hal-hal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain waspada dan mawas diri (muhasabat dan muraqabat), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hub), takut (khauf), harap (raja), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah), dan yakin.
Penjelasan yang di maksud adalah sebagai berikut:
1.      Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah)
Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.
            Waspada (muhasabah) dapat diartikan meyakini bahwa Allah SWT mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi terhormat, takut dan tunduk kpd Allah SWT. Adapun mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatanya sehari-hari  telah sesuai atau malah menyimpang dari yang di kehendaki-Nya.


2.      Cinta (hubb)
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugrah yang menjadi pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (mawahib). Mahabbah adalah kecendrungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
3.      Berharap dan takut (raja dan khauf)
Bagi kalangan kaum sufi, raja dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja berarti berharap atau optimisme. Raja’ atau ptimisme adalah perasaan hati yang senang karena menaati sesuatu yang di inginkan dan di senangi. Raja atau optimisme ini telah di tegaskan dalam Al-Qur’an
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah. Allah maha pnganpun lagi maha penyayang. (Q.S Al- Baqarah (2): 218)
Orang yang harapan dan penantiannya menjadikannya berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapanya hanya angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapanya sia-sia dan percuma.
Raja’ menurut tiga perkara yaitu:
1.      Cinta pada apa yang di harapkanya.
2.      Takut harapanya hilang.
3.      Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak di barengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau khayalan. Setiap orang yang berharap adalah orang yang takut (khauf). Orang yang berharap sampai di suatu rempat tepat waktunya, tentunya ia takut terlambat. Karena takut terlambat, ia mencepatkan jalanya, begitu pula orang yang mengharap ridha atau ampunan tuhan, di iringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.
Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang di takuti. Yang akan menimpa pada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.kekurangan khauf akan menjadikan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat. Sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikanya putus asa dan pesimis, begitu juga sebaliknya, terlalu besar sikap raja akan membuat seseorang sombong dan meremehkan amalan-amalannya karena optimisnya yang berlebihan.

4.      Rindu (syauq)
Selama masih ada cinta, syauq tetap di perlukan, dalam lubuk jiwa, rasa rindu tumbuh dengan subur, yaitu rindu ingin segera bertemu dengan tuhanya.ada yang mengatakan bahwa maut marupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah SWT lebih bahaya daei maut. Bagi sufi yang rindu kepada tuhan mati berarti bertemu dengan tuhan. sebab, hidup merintangi pertemuan ‘abid dengan ma’bun-Nya.

C.    POTENSI ‘IRFANI
Salah satu syarat memperoleh ma’rifat prasyaratnya antara lain, kesucian jiwa dan hati.
Untuk memperoleh kerifan atau makrifah, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial  sebagai mana di ungkapkan Ibnu Arabi dalam fhusus Al-hikam-Nya:
Artinya:
“ Qalb dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyf dan ilham iapun berfungsi sebagai alat untuk ma’rifat dan menjadi cermin yang memantulkan (tajalli) makna-makna keghaiban”.
Tampaknya kaum sufi memandang kesucian qalb sebagai prasyarat secara batiniah untuk berdialog secara batini dengan tuhanya, mereka mengemukakan bahwa tuhan hanya bisa di dekati jiwa yang suci. Ilmu pengetahuan yang di hasilkan dari dunia dialogis batiniyah dengan perangkat qalb yang suci inilah yang mereka sebut sebagai ilmu ma’rifat. Bahkan secara spesifik mampu memperoleh ilmu laduni, yaitu ilmu yang datang melalui ilham yang di bisikan kedalam hati manusia.
            Berdasarkan uraian di atas , dapat di pahami bahwa hati (qalb) menjadi sarana untuk memperoleh ma’rifat, qalblah yang akan mampu mengetahui hakikat pengetahuan karena qalb telah di bekali potensi untuk berdialog dengan Tuhan. Hal ini mengisyaratkan bahwa ma’rifat tidak di miliki sembarang orang, tetapi hanya dimiliki orang-orang yang telah melakukan upaya-upaya untuk memperolehnya. Untuk itu, di samping melalui tahpan-tahapan maqamat dan ahwal , untuk memperoleh ma’rifat, seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu.



1.      Riyadhah
Riyadhah sering disebut juga latihan-latinah mistik. Maksudnya adalah latihan kejiwaan melalui upaya-upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya. Riyadhah dapat berati pula proses internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih membiasakan meninggalkan sifat-sifat jelek.
Riyadhah harus di sertai dengan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat jelek. Perbedaan riyadhah dan mujahadah adalah riyadhah berupa tahapan-tahapan real, sedangkan mujahadah berjuang menekan atau mengendalikan dengan sungguh-sungguh pada masing-masing tahapan riyadhah. meskipun demikian riyadhah tidak dapat di pisahkan dari mujahadah karena keduanya ibarat dua sisi pada mata uang.
Riyadhah beruna untuk menempa tubuh jasmani dan akal budi yang melakukan latihan-latihan itu sehingga mampu menangkap dan menerima komunikasi dari alam ghaib (malakut) yang transendental. Hal terpenting dalam riyadhah adalah melatih jiwa melepaskan kebergantungan terhadap kelezatan duniawi yang fatamorgana, lalu menghubungkan diri dengan realitas rohani dan illahi. Dengan demikian, riyadhah akan mengantarkan seseorang selalu berada di bawah bayangan yang kudus.
2.      Takafur
Takafur penting di lakukan tiap manusia yang menginginkan makrifat, sebab, tatkala jiwa telah belajar mengelola ilmu, lalu memikirkan (ber-tafakur) dan menganalisisnya, pintu keghaiban akan di bukakan untuknya.
Takafur berlangsung secara internal dengan proses pembelajaran dari dalam diri manusia melalui aktivitas berfikir yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa). Selanjutnya tafakur di lanjutkan dengan memotensikan nafs kulli (jiwa universal)
Nafs kulli mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menghasilkan ilmu,terutama ilmu ma’rifat. Alasannya ilmu yang di hasilkan melalui penggunaan nafs kulli, kegiatan takafur mempunyai peranan sangat penting.
3.      Tazkiyat an-nafs
Tazkiyat an-nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat di lakukan melalui tahapan takhalli. Tazkiat an-nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf.
            Upaya melakukan penyempurnaan jiwa harus di lakuakn oleh setiap orang yang menginginkan ilmu ma’rifat. sebab ilmu ma’rifat tidak dapat di terima oleh orang yang jiwanya kotor.ada lima penghalang bagi jiwa dalam menangkap hakikat yaitu: pertama, jiwa yang belum sempurna; kedua, jiwa yang dikotori perbuatan-perbuatan maksiat; ketiga, menuruti keinginan badan; keempat, penutup yang menghalangi masuknya hakikat kedalam jiwa (taqlid); kelima, tidak dapat berpikir logis. Penyempurnaan jiwa dapat di lakukan dengan tazkiyiat an-nafs.
4.      Zikrullah
Secara etimologis zikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah membasahi lidah degan ucapan-ucapan pujian kepada Allah SWT. Zikir adalah metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni.
Pentingnya zikir untuk mendapatkan ilmu ma’rifat di dasarkan atas argumentasi tentang peranan zikir bagi hati. Al-Ghazali, dalam ihya’, menjelaskan bahwahati manusia tak ubahnya seperti kolam yang di dalamnya mengalir bermacam-macam air. Pengaruh-pengaruh yang datang kedalam hati adakalanya  berasal dari luar yaitu pancaindera, adakalnya dari dalam yaitu khayal syahwat, amarah, dan akhlak atau tabi’at manusia.
      Dalam pandangan sufi, zikir akan membuka tabir alam malakut, yaitu dengan datangnya malikat. Zikir merupakan kunci pembuka alam ghaib, penarik kebaikan, penjinak was-was dan pembuka kewalian. Zikir juga bermanfaat untuk membersihkan hati. Al-Ghazali dalam ihya’ menjelaskan bahwa hati yang terang merupakan hasil zikir kepada Allah SWT. Takwa merupakan pintu gerbang zikir, sedangkan zikir merupakan pintu gerbang kasyaf (terbuka hijabnya). Sementara, kasyaf adalah pintu gerbang kemenangan yang besar. Masih menurut Al-Ghazali zikir juga berfungsi mendatangkan ilham, ruang gerak setan menjadi terhalang kebenarannya sehingga setan pergi menjauh dapri hati manusia. Pada saat itulah malaikat akan memberikan ilham kedalam hati.















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Perjalanan menuju Allah SWT, merupakan metode pengenalan (makrifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah SWT. Manusia tidak akan tahu banyak Penciptanya sebelum melakukan perjalanan menuju Allah SWT walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Sebab, ada perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis-teoritis (al-iman al-aqli an-nuzhari) dan iman secara rasa (al-iman asy-syu’ri adz-dzauqi).
            Dalam perjalanan menuju Allah SWT, kaum sufi harus menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan). Maqam-maqam yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri atas tobat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rida dan tawakal.
            Hal-hal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain : waspada dan mawas diri (muhasabbah dan muraqabbah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tenteram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah) dan yakin.


















DAFTAR PUSTAKA

·         Anwar, Rosihan dan Muhtar Solihin, Akhlak Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2000
·         Musthofa, HA, Akhlak Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2007





Tidak ada komentar:

Posting Komentar