Minggu, 26 Juli 2015

JINAYAH



PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN JINAYAH
Jinayah menurut fuqaha' ialah perbuatan atau perilaku yang jahat yang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja. Penta`rifan tersebut adalah khusus pada kesalahan-kesalahan bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau menghilangkan anggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan atau melukakannya yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat.
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah,
Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.

Jinayah adalah Perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda. Kata jinayah berasal dari kata janayajni yang berarti akhaza (mengambil) atau sering pula diartikan kejahatan, pidana atau kriminal.

Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara'. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara'. Pada umumnya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuata-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha' yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.



FUNGSI DAN TUJUAN DITERAPKANNYA HUKUM:
Tujuan diterapkannya hukum adalah mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (mengambil segala yang bermaslahat serta menolak segala yang merusak dalam rangka menuju keridhaan Allah sesuai dengan prinsip tauhid)
Ditinjau dari segi prioritas kepentingannya bagi kehidupan manusia, tujuan diterapkannya hukum terbagi menjadi lima, yaitu:
1. Memelihara agama
2. Memelihara jiwa
3. Memelihara akal
4. Memelihara keturunan dan kehormatan
5. Memelihara harta
Sedangkan fungsi diterapkannya hukum adalah mencapai tujuan yang akan dituju.


PEMBUNUHAN ADA 3  DIANTARANYA :
1.      Pembunuhan dengan sengaja (al-‘amd).
 yaitu seorang mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya dengan cara dan alat yang biasanya dapat membunuh.
(seperti membunuh dengan senjata api,sabit, memukul dengan alat-alat yang berat dsb.)

2.      Pembunuhan yang mirip dengan sengaja (syibhu al-’amdi). 
Yaitu ialah seorang mukalaf bermaksud membunuh orang yang terlindungi darahnya, dengan cara dan alat yang biasanya tidak membunuh.

 Ini tidak termasuk sengaja dan tidak juga karena keliru (al-khatha’), tapi pertengahan di antara keduanya.
Seandainya kita melihat kepada niat kesengajaan untuk membunuhnya, maka ia termasuk dalam pembunuhan dengan sengaja. Namun, bila kita melihat jenis perbuatannya tersebut yaitu tidak membunuh, maka kita memasukkannya ke dalam pembunuhan karena keliru (al-khatha’). Oleh karenanya, para ulama memasukkannya ke dalam satu tingkatan di antara keduanya, dan menamakannya syibhu al-‘amdi.
3.      Pembunuhan karena keliru (al-khatha’).
Yaitu seorang mukalaf melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, namun ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia.
Hukum Pembunuh dan Penganiaya:
Pembunuh dan penganiaya badan manusia dihukumi sebagai orang fasik, karena melaksanakan satu dosa besar. Hukumnya di akhirat dikembalikan kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala, apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak mengazabnya maka ia akan diazab, dan bila Allah mengampuninya maka ia diampuni. Hal ini termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيم
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (Qs. An-Nisa`: 48)
Ini bila ia tidak bertobat sebelum meninggal dunia. Apabila ia telah bertobat, maka tobatnya diterima, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa, semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
 (Qs. Az-Zumar: 53)
Namun, di akhirat, hak korban yang terbunuh (al-maqtul) tidak gugur darinya dengan sekadar tobat. Akan tetapi, korban tersebut akan mengambil kebaikan dan pahala pembunuh tersebut sesuai dengan ukuran kezalimannya, atau Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memberikannya dari sisinya. Hak korban juga tidak gugur dengan qisas, karena qisas adalah hak keluarga dan kerabat korban (auliya` al-maqtul).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Pembunuhan dengan sengaja, berhubungan dengan tiga hak:
·         Hak Allah, dan ini akan terhapus dengan tobat.
·         Hak auliya` al-maqtul, dan ini gugur dengan menyerahkan diri kepada mereka.
·         Hak al-maqtul (korban). Ini tidak gugur, karena korban telah mati dan hilang. Namun, apakah kebaikan pembunuh akan diambil (di akhirat) atau Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan keutamaan dan kemurahan-Nya akan menanggungnya? Yang benar adalah, Allah dengan keutamaannya akan bertanggung jawab, apabila si pembunuh tersebut jelas kebenaran dan kejujuran tobatnya.
·          
Pendapat ini pun dikuatkan oleh Ibnu al-Qayyim dalam penuturan beliau, “Yang benar adalah, bahwa pembunuhan berhubungan dengan tiga hak: hal Allah, hak korban (al-maqtul), serta hak keluarga dan kerabat korban (auliya` al-maqtul).
Apabila pembunuh telah menyerahkan diri dengan suka rela, dengan menyesalinya dan takut kepada Allah, serta bertobat dengan tobat nashuha, maka hak Allah Subhanahu wa Ta’ala gugur dengan tobat si pembunuh, dan hak auliya` al-maqtul gugur dengan menunaikan qisas secara sempurna, dengan jalan perdamaian, atau dimaafkan.
Akan tetapi, masih tersisa hak korban. Allah yang akan menggantinya di hari kiamat dari hamba-Nya yang bertobat, dan Allah pun memperbaiki hubungan keduanya.

        B. MACAM-MACAM JINAYAH
1.Qasas
Qisas adalah pembayaran yang seimbang antara pelaku dan yang dianiaya seperti bila membunuh harsu dibunuh, mematahkan gigi harus dipatah gigi, dan lain-lain.
QS. Albaqarah: 178

يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان ذلك تخفيف من ربكم ورحمة فمن اعتدى بعد ذلك فله عذاب أليم

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.

2.Diyat (Denda)
Pengertian : denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukum bunuh.
Diyat ada dua macam, yaitu :
a)      Diyat Mughaladzah (denda berat), yaitu seratus ekor unta, dengan perincian: 30 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 30 ekor unta betina, umur empat masuk lima tahun, 40 ekor unta betina yang sudah bunting.

b)      Diyat Mukhaffafah (denda ringan), yaitu seratus ekor unta, tetapi dibagi lima, yaitu 20 ekor unta betina umur tiga tahun, 20 ekor unta jantan umur dua masuk tiga tahun, 20 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 20 ekor unta betina umur empat masuk lima tahun. Denda ini wajib dibayar oleh keluarga yang membunuh dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun dibayar sepertiganya.
Hikmah dari Diyat yaitu:
·         Mencegah kejahatan terhadap jiwa dan raga
·         Obat pelipur lara korban
·         Timbulnya ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat


3. Kifarat
Pengertian: Tebusan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan oleh syari’at Islam karena telah melakukan kesalahan atau pelanggaran yang diharamkan Allah.
Macam-macam kifarat ada dua, yaitu:
a)      Kifarat karena pembunuhan, yaitu dengan memerdekakan hamba sahaya / berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
b)      Kifarat karena melanggar sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian, memerdekakan 1 budak atau berpuasa 3 hari

4. Hudud
Pengertian : sanksi bagi orang yang melanggar hukum dengan dera / dipukul (jilid) atau dengan dilempari batu hingga mati (rajam)
Perbuatan yang dapat dikanakan hudud ada 4, yaitu:
a)      Zina
b)      Qadzaf (menuduh orang berbiat zina),QS Annur 23,4
c)      Minuman keras    
d)     Menuri, QS almaidah 38





5.Ta’zir
Pengertian : apabila seorang melakukan kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum atau tidak/belum memenuhi syarat membayar diyat. (hukuman yang tidak ditetapkan hukumnya dalam quran dan hadits yang bentuknya sebagai hukuman ringan).


      C.  HIKMAH JINAYAH
1.      Mengetahui perbuatan-perbuatan yang terlarang, terutama menurut agama.
2.      Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab manusia itu sendiri.
3.      Mengetahui berbagai hukuman terhadap masalah yang disesuaikan dengan kondisi,sebab dan latar belakang masalah.
4.      Tercipanya keamanan dan ketertiban
5.      Terciptanya kemaslahatan hidup.
6.      Memberikan pelajaran efek jera bagi para pelaku pelanggaran.
  1. Menjaga keamanan di dalam masyarakat dari segala fitnah tuduh-menuduh.
8.      Menjaga keselamatan nyawa dari  pembunuhan sesama, sendiri, dan sebagainya.
9.      Menjaga keamanan di dalam harta benda dan nyawa dari pencurian, rampok, dan lain-lain.















PENUTUP

A.    Kesimpulan
Jinayat menurut tradisi syari’at Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat untuk melakukannya yakni perbuatan itu harus dihindari. Hukuman yang bersifat materi ini ini dikompirmasikan bahwa Islam meletakkan penghormatan terhadap jiwa, sehingga tidak ada seorang pun yang menganggap remeh masalah ini. Selain menghormati jiwa, Islam pun memandang berbagai aspek yang berhubungan dengan kemaslahatan umat banyak, sehingga jelaslah jinayat itu penting untuk dipelajari dan digunakan dalam tatacara kehidupan.



B.  Saran
      Dosen memberikan penjelasan yang kurang dipahami oleh Mahasiswa maupun Mahasiswi tentang JINAYAH serta memberikan informasi yang  fakta dari materi yang dibahas dalam makalah ini.














DAFTAR PUSTAKA

·         Subul as-Salam al-Mushilah ila Bulugh al-Maram, 7:231, tahqiq Muhammad Shubhi Hasan Halaf, Muhammad bin Isma’il ash-Shan’ani, cetakan kedelapan, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA.

·         Asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’: 14/5, Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimin, cetakan pertama, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA.


·         'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar